Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan dari Gunung Indrakila

20 Juni 2015   02:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:37 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Bagi masyarakat Jawa, nama gunung Indrakila bukanlah tempat yang asing lagi. Tempat fiktif yang pertama kali tertulis di kitab kakawin Arjuna Wiwaha, gunung Indrakila sering mereka dengar dalam pertunjukkan wayang kulit dengan lakon Partadewa, Mintaraga, ataupun Begawan Ciptoning. Di gunung inilah Arjuna melakukan pertapaan untuk memohon anugrah dari para dewa. Nama Indrakila sendiri mengacu pada Kailasa, yaitu tempat persemayaman dewa Siwa di Himalaya. Hal ini sesuai perintah Khrisna kepada para Pandawa seusai kalah dalam permainan dadu, bahwa masing-masing dari kelima Pandawa tersebut harus melakukan perjalanan solo terlebih dahulu guna mencari bekal seandainya peperangan dengan para Kurawa tidak bisa dielakkan. Dan, kepada Arjuna lah Krisna menunjukkan sebuah tempat bernama Indrakila untuk bertapa memohon sebuah pusaka dari dewa Siwa.

 

Kitab Arjuna Wiwaha sendiri merupakan turunan dari cerita Wanaparwa, bab ketiga dari Mahabarata, yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada jaman pemerintahan Raja Erlangga di Kerajaan Medang, Jawa Timur, pada tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1928 – 1935 M. Arjuna Wiwaha menceritakan Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila (dalam cerita wayang kulit dikatakan lebih spesifik, yakni goa Pamintaraga, di lereng gunung Indrakila) mendapat berbagai ujian dari para dewa hingga akhirnya menerima pusaka berupa panah Pasopati kemudian berhasil membunuh raja raksasa Niwatakawaca yang menyerang kahyangan dengan cara menyusupkan salah seorang istrinya sebagai mata-mata. Sebagai hadiahnya, Arjuna diangkat menjadi raja di kahyangan Jonggring Saloka selama tujuh hari tujuh malam dan dinikahkan dengan tujuh bidadari.

 

Beberapa peneliti ada yang menyebut kalau cerita Arjuna Wiwaha adalah kisah pribadi perjalanan Erlangga setelah menjadi menantu raja Dharmawangsa sampai menjadi raja di Medang. Mulai dari acara wiwoho (pernikahan) Erlangga, peristiwa pralaya ( terbunuhnya raja Dharmawangsa saat penyerangan kerajaan Wora Wari ke Medang), pelarian Erlangga bersama istrinya dan Narotama, sampai saat Erlangga berhasil menjadi raja di Medang dan mengalahkan kerajaan Wengker juga dengan cara memyusupkan mata-mata.

 

Begawan Ciptoning

Sesuai dengan intruksi Khrisna, Arjuna menuju gunung Indrakila. Karena sudah masuk dalam masa hukuman pembuangan selama tiga belas tahun maka Arjuna menyamar menjadi seorang resi atau pandhita dengan menggunakan nama samaran Begawan Ciptoning agar tidak dikenali oleh para Kurawa. Di dalam sebuah goa, setelah menanggalkan semua senjatanya, Arjuna melakukan laku tapa brata. Ciptoning, dari bahasa Jawa yang berasal dari dua suku kata, Cipto (pikiran) dan Hening (jernih).

 

Untuk menguji keteguhan hati Arjuna, maka para dewa melakukan berbagai ujian guna menggagalkan pertapaan Arjuna. Turunlah tujuh bidadari dari kahyangan di hadapan Arjuna. Kecantikan wajah, kemolekan tubuh, kemerduan suara, semua ditawarkan cuma-cuma kepada Arjuna. Sebagai seorang laki-laki, ini adalah ujian yang sangat berat untuk Arjuna, dimana dia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya. Dan, Arjuna pun berhasil menolak godaan birahi tersebut.

 

Ujian selanjutnya, dalam suasana hujan lebat datanglah seorang tua renta. Arjuna pun menawarinya untuk masuk goa agar bisa berteduh. Setelah bertanya jawab lalu orang tua tersebut bercerita bahwa kampungnya sudah dirusak oleh seekor babi hutan yang mengamuk. Mendengar cerita demikian, Arjuna segera mengambil senjatanya untuk memburu babi yang mengamuk tersebut dan berhasil membunuhnya. Dari sinilah, akhirnya Arjuna mendapat anugerah dari dewa Siwa berupa panah Pasopati.

 

Nglakoni

 

Nglakoni dalam bahasa Jawa berarti menjalankan, dari kata laku yang berarti jalan (kata kerja). Ritual nglakoni dalam tradisi masyarakat Jawa adalah bentuk sebuah laku tapa brata peningkatan spiritual guna meraih cita-cita yang diinginkannya. Berbagai macam laku tapa brata dalam kepercayaan masyarakat Jawa tadi biasanya dibarengi dengan puasa dan pengendalian diri. Namun secara harfiah, masyarakat Jawa mengartikan laku dengan proses. Mereka menyakini bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan harus didasari dengan proses, karena keberhasilan bukan sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja.

 

Pentingnya nilai proses tergambar jelas pada salah satu bait tembang Pocung di Serat Wulangreh (ajaran untuk mencapai sesuatu) karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV, raja Surakarta. Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara, (ilmu itu bisa dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras, kokohnya budi akan menjauhkan diri dari watak angkara). Bila seseorang mengabaikan nilai proses maka akan sulit mengendalikan diri, tergambar di salah satu bait lanjutannya. Durung becus kesusu selak besus, amaknani rapal kaya sayid weton mesir, pendhak pendhak angendhak gunaning jalma (belum menguasai sudah berlagak pintar, menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir, setiap saat meremehkan orang lain).

 

 

Dari jagad pewayangan pun, masyarakat dibebaskan untuk ngonceki (mengupas) pesan yang tersirat dari dialog maupun dari adegan di setiap segmennya tentang ajaran pengendalian diri. Seorang tua pernah mengatakan kepada saya, kenapa setiap ksatria ketika sedang melakukan laku selalu berada di hutan dan bertarung dengan buta cakil? Menurut beliau, hutan adalah tempat yang sepi atau juga gambaran keruwetan masalah, desire, serta banyaknya keinginan manusia. Ketika seseorang sedang mengalami hal-hal tadi maka sebaiknya dia sejenak menyingkir dari keramaian untuk laku kendali diri yang diibaratkan dengan mengalahkan buta cakil sebagai perwujudan nafsu diri sendiri. Masih menurut beliau, menyingkirkan diri, bukan meminta orang lain yang menyingkir, karena proses pengendalian diri itu internal sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.

 

 

Lakon Begawan Ciptoning adalah contoh jelas tentang laku pengendalian diri. Ketika mempunyai keinginan, tempat untuk memohon Arjuna adalah pada yang Maha Kuasa (Kailasa) dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya. Laku tapa brata yang dia jalani adalah bentuk sebuah proses kerja keras. Dia tidak menyembunyikan diri dari kedatangan tujuh bidadari yang menawarinya kenikmatan duniawi, dengan kejernihan pikir akan tujuan utamanya, dia berhasil mengendalikan dirinya sehingga tidak jatuh dalam godaan yang diberikan para wanita-wanita cantik tersebut.

 

 

Tanya jawab seorang tua renta dengan Arjuna. Mengapa seorang yang bertapa brata mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa membawa senjata? Arjuna menjawab, senjata tersebut adalah dharma seorang ksatria. Selama proses spiritual, Arjuna tidak pernah melupakan tugas-tugasnya di dunia sebagai seorang ksatria yang digambarkan dengan melindungi penduduk desa lewat cara membunuh babi hutan. Bahwa selama proses laku tapa brata (pengendalian diri), kewajiban dunia dan spiritual harus tetap berjalan seimbang. Mengejar nilai spiritual tanpa melupakan kewajiban dunia, begitu juga sebaliknya, mengejar nilai dunia tanpa melupakan kewajiban spiritualnya.

 

 

Setelah mendapatkan pusaka dari dewa Siwa, Arjuna lalu berperang melawan raja raksasa Niwatakawaca. Arjuna menggambarkan bahwa dalam proses pengendalian diri, dia tetap bisa menebar kebaikan pada masyarakat banyak. Setiap orang bisa memberi manfaat kepada orang lain. Yang kuat melindungi yang lemah, yang pintar mengajari yang bodoh, yang kaya membantu yang miskin, dan yang besar menuntun yang kecil.

 

 

Secara umum, Begawan Ciptoning memberi pesan bahwa keseluruhan hidup adalah bentuk sebuah laku tapa brata atau proses dalam mencapai tujuan duniawi dan spiritual. Jadi, keseluruhan hidup adalah bentuk pengendalian diri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun