Â
Ujian selanjutnya, dalam suasana hujan lebat datanglah seorang tua renta. Arjuna pun menawarinya untuk masuk goa agar bisa berteduh. Setelah bertanya jawab lalu orang tua tersebut bercerita bahwa kampungnya sudah dirusak oleh seekor babi hutan yang mengamuk. Mendengar cerita demikian, Arjuna segera mengambil senjatanya untuk memburu babi yang mengamuk tersebut dan berhasil membunuhnya. Dari sinilah, akhirnya Arjuna mendapat anugerah dari dewa Siwa berupa panah Pasopati.
Â
Â
Nglakoni dalam bahasa Jawa berarti menjalankan, dari kata laku yang berarti jalan (kata kerja). Ritual nglakoni dalam tradisi masyarakat Jawa adalah bentuk sebuah laku tapa brata peningkatan spiritual guna meraih cita-cita yang diinginkannya. Berbagai macam laku tapa brata dalam kepercayaan masyarakat Jawa tadi biasanya dibarengi dengan puasa dan pengendalian diri. Namun secara harfiah, masyarakat Jawa mengartikan laku dengan proses. Mereka menyakini bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan harus didasari dengan proses, karena keberhasilan bukan sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja.
Â
Pentingnya nilai proses tergambar jelas pada salah satu bait tembang Pocung di Serat Wulangreh (ajaran untuk mencapai sesuatu) karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV, raja Surakarta. Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara, (ilmu itu bisa dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras, kokohnya budi akan menjauhkan diri dari watak angkara). Bila seseorang mengabaikan nilai proses maka akan sulit mengendalikan diri, tergambar di salah satu bait lanjutannya. Durung becus kesusu selak besus, amaknani rapal kaya sayid weton mesir, pendhak pendhak angendhak gunaning jalma (belum menguasai sudah berlagak pintar, menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir, setiap saat meremehkan orang lain).
Â
Â
Dari jagad pewayangan pun, masyarakat dibebaskan untuk ngonceki (mengupas) pesan yang tersirat dari dialog maupun dari adegan di setiap segmennya tentang ajaran pengendalian diri. Seorang tua pernah mengatakan kepada saya, kenapa setiap ksatria ketika sedang melakukan laku selalu berada di hutan dan bertarung dengan buta cakil? Menurut beliau, hutan adalah tempat yang sepi atau juga gambaran keruwetan masalah, desire, serta banyaknya keinginan manusia. Ketika seseorang sedang mengalami hal-hal tadi maka sebaiknya dia sejenak menyingkir dari keramaian untuk laku kendali diri yang diibaratkan dengan mengalahkan buta cakil sebagai perwujudan nafsu diri sendiri. Masih menurut beliau, menyingkirkan diri, bukan meminta orang lain yang menyingkir, karena proses pengendalian diri itu internal sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.