Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FKK] Romantika 31

14 Juni 2014   00:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:50 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Efendi Rustam, No. 42

"Mas, kita harus memikirkan lagi hubungan kita ini..."

Mata Mar terlihat basah ketika dia berkata padaku. Aku tarik napas dalam-dalam untuk mencoba menahan segala kegeraman hatiku agar tidak terucap dalam gertakan kata-kata yang akhirnya hanya akan membuat kami merasa saling tersakiti. Kucoba alihkan pikirannya dengan mencoba menawarkan untuk menghabiskan makannya. Sudahlah, Mar, kita kesini untuk makan, kita bicarakan semua hal yang tidak mengenakkan ini nanti saja, bukankah ini makanan kesukaanmu, ayam goreng kampung Mbak Mul, yang selalu kau ceritakan padaku tentang sambelnya yang membuatmu terus menelah liur bila membayangkannya. Ah, terkadang kau terlalu hiperbol untuk hal-hal yang menjadi pilihanmu seperti halnya orang-orang sekecamatan Tawangsari atau juga sekabupaten Sukoharjo yang mengatakan kalau makanan disini tidak ada duanya di dunia. Ya jelas sajalah, Mar, rumah makan ini kan belum buka cabang di Eropa atau China!

"Kita ini lusan, mas. Aku anak ketiga sedangkan mas, anak pertama. Kita tidak mungkin bisa bersatu dalam rumah tangga, mas...!", kali ini ada yang mengalir dari kedua matamu. Ada yang bergetar di hatiku ketika kau usap lelehan air mata itu. Rasa sakit yang sama juga aku rasakan, tidak hanya kamu saja, Mar. Setelah lima bulan kita pacaran, sulit rasanya untuk membayangkan sebuah perpisahan denganmu. Tapi kenapa baru sekarang kau kemukan alasan itu, Mar. Rumahku hanya berselang tiga bangunan dari rumahmu, tidak perlu kau investigasi pada dukun bayi yang dahulu membantu persalinan ibuku atau juga KTP dan kartu keluargaku pun orang sekampung semua juga sudah tahu kalau aku, Panut Purwanto adalah anak pertama dan kau, Tri Martini adalah anak ketiga. Kenapa tidak dari awal kau tolak cintaku, Mar? Kenapa, Mar...?

Mungkinkah kau sudah melupakan semuanya, Mar? Waktu dulu ketika kau bilang selalu pusing bila membaca surat dariku, bukan karena tulisanku yang seperti cakar bebek angsa tapi karena aroma menyengat dari kertas warna merah jambu yang selalu basah sebab aku terlalu kuat menyemprotkan parfum melati? Waktu ketika pikiranku serasa terbang ke langit biru disertai bunyi sekeras kentongan dari jantungku yang membuatmu mengaduh kesakitan ketika ku beranikan menggandeng tanganmu untuk yang pertama kali? Atau, ketika lebaran kau mengenakan blus model Tersanjung yang kubelikan dihari ulang tahunmu dan kuajak kau ke puncak tertinggi gunung Taruwongso hanya untuk menunjuk bibirmu sambil menanyakan," Ini punya siapa, Mar...?", lalu aku yang tiba-tiba berkeringat saat mendengar jawabanmu," Punya kamu, mas...". Tidakkah semua itu berarti bagimu, Mar?

"Kata siapa kalau kita tidak boleh menikah, Mar...?", tanyaku dengan intonasi suara yang mengalir jelas dan tenang. Aku sudah tidak peduli apakah dia akan pingsan karena ketakutan atau mungkin malah akan kejang menahan geli saat memandang ekspresi wajahku namun sebagai seorang laki-laki sejati baik siang maupun malam, aku harus bisa tampil berwibawa dihadapan Mar agar dia yakin kalau aku bisa memecahkan persoalan asmara ini.

"Mbokde Parti, mas...".

Gubraaaaak...!!!

Lemas semua otot-otot rahangku. "Woalaaah, Mar...Mar...!", mengapa tidak kau tanyakan dulu kepada bapak ibumu tapi kau malah percaya pada obrolan-obrolan tetangga. Kalaupun ini bukan mitos dan aku tidak tahu filosofi yang menjadi dasar alasan para leluhur-leluhur kita dulu sehingga bisa membuat tradisi budaya semacam ini tetapi aku yakin pasti ada cara penyelesaian lewat tradisi dan budaya itu sendiri. Ingin sekali rasanya kutepok bokong Mbokde Parti untuk mengeluarkan semua kegemasanku padamu, Mar. Hatiku, jiwaku, dan raut mukaku sudah mengharu biru membayangkan kegalauan seandainya nanti benar-benar kau putuskan cintamu bahkan aku sudah berpikir buruk tentang kamu yang mungkin hanya menjadikanku korban PHP-mu atau kamu yang sedang bersandiwara mencari-cari alasan supaya bisa meninggalkanku untuk balik lagi pada Bambang, mantan pacarmu yang dulu. Maafkan aku, Mar.

Tenangkan hatimu, Mar. Janganlah kau mudah panik, percayalah kalau yang di atas sana pasti akan merestui niat kita yang suci untuk bisa hidup berumahtangga. Sepulang dari sini aku akan ceritakan semua pada bapak, pasti beliau ada saran untuk hubungan kita ini. "Senyum dong, Mar...".

*******

...sembilan puluh lima, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh sembilan, seratus satu...

Ups..., sepertinya ada angka yang terlewatkan dalam gumanan hitunganku. Membayangkan untuk turun lagi demi sebuah akurasi perhitungan jumlah anak tangga membuatku kaki terasa lemas, mungkin karena itu pula selama ini aku selalu tidak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlah anak tangga di gunung Bumi Arum Majasto ini. Namun aku tidak sendiri, bila aku bertanya pada lima orang temanku pasti mereka mempunyai angka sendiri-sendiri yang tidak sama sebagai jawabannya, sungguh sebuah kesalahan kolektif yang bisa membuat bibirku tersenyum untuk mencari penghiburan, ternyata bukan aku saja yang bodoh berhitung.

Aku sering berpikir kalau sebenarnya tempat ini lebih pantas masuk kategori bukit tapi tidak tahu mengapa masyarakat di daerahku lebih suka menyebut segunduk batu dengan sebutan gunung seperti halnya mereka menyebut segunduk batu setinggi dua meter disebelah selatan kantor kepala desaku, Ponowaren, dengan nama Gunung Wahyu. Ah, biarkan saja, itu hanya tetenger, toh gunung Majasto bertinggi enam puluh meter juga nampak menjulang indah di tepi sungai Dengkeng, sebuah sungai yang pernah digunakan Joko Tingkir dengan rakitnya menuju Demak dan oleh karenanya banyak nama desa dan situs sejarah di kabupaten Sukoharjo ini yang berhubungan dengan Joko Tingkir. Dimulai dari Banyubiru, di kecamatan Weru sampai istananya di Pajang, kecamatan Kartosuro. Sebuah masjid tua yang masih nampak gagah dan komplek pemakaman Ki Ageng Sutowijoyo yang eksotis selalu membuatku betah berlama-lama di atas gunung ini. Di sebelah selatan gunung inilah mengalir sungai Dengkeng dimana dulu aku kecil kadang kala bermain dibawah pohon asem besar kepunyaan Joko Tingkir. Konon, Joko Tingkir hendak beristirahat di padepokan Ki Ageng Sutowijoyo dan agar tidak hanyut maka dia menindihkan sebuah klungsu, sebagai pemberat pada rakitnya. Satu hal lagi yang unik dari komplek pemakaman ini adalah galian lubang kuburan yang hanya sedalam lima puluh centimeter saja, namun karena masyarakat percaya kalau disini adalah bumi harum maka mayat-mayat yang dimakamkan disini tidak pernah mengeluarkan bau busuk meski hanya terpendam setengah meter didalam tanah.

Jarum jamku sudah menunjuk ke angka tiga tapi aku belum melihat tanda-tanda kedatangan mbah Manto, lelaki tua yang disarankan bapak agar aku sowan kepadanya dengan semua permasalahanku. Dan, bila suatu saat nanti ada presenter TV bersedia mewawancarainya, mereka harus menuliskan kata budayawan dibawah slide namanya karena keluasan wawasannya pada tradisi dan budaya Jawa. Sabar, mungkin mbah Manto masih memberi makan kambing-kambingnya. Menunggu disini pun juga tidak akan pernah merasa bosan sebab dari puncak ini aku bisa melihat gunung Taruwongso disebelah timur laut, gunung cintaku dengan Mar. Lalu kuarahkan pandanganku ke selatan dimana ada kampungku yang hanya berjarak lima ratus meteran. Sebuah kampung kecil di pedesaan dengan hamparan hijau padi yang mengelilinginya. Kuamati satu persatu atap-atap rumah tuk mencoba menerka dimana letak rumah tua tempatku dilahirkan. Ya, itu dia, aku bisa menemukannya. Kugeser pandanganku sedikit untuk mencari rumah pacarku. Mar, andai sekarang kau ada disini, tentu kita bisa bercerita banyak dengan kepala dingin tentang masalah percintaan aku dan kamu.

Akhirnya mbah Manto datang juga. Cleeeesss...., rasanya seperti tersiram air es. Perlahan aku menghampiri mbah Manto yang nampak asik menikmati kreteknya di pendopo bangsal untuk mengkonsultasikan derita lusan-ku padanya. Ya Tuhan, lumpuhkanlah ingatan mbah Manto agar dia tidak mengingat kejadian sebulan yang lalu di angkringan saat dia melemparku dengan sendok kopi ketika aku ngeyel menyanggah ceritanya. Kira-kira empat kilometer di utara gunung ini, masih dalam aliran sungai Dengkeng terdapat billabong bernama Kedung Srengenge, tempat Joko Tingkir bertarung dengan ratusan buaya. Sang raja buaya berhasil dikalahkan olehnya dengan cara mencabut lidahnya lalu sebagai hukuman kepada raja buaya, Joko Tingkir bersabda kalau nantinya seluruh buaya di dunia ini akan terlahir tanpa mempunyai lidah. "Lha terus kenapa buaya-buaya di Afrika, Amerika, Australia, juga nggak punya lidah? Enggak bisa begitu dong, mbah...!!". Dari sinilah awal sulapan mbah Manto membuat sendok melayang ke mukaku.

*******

...tutupen botolmu, tutupen oplosanmu, emannen nyawamu ojo mbok terus-teruske...

Suara nyaring Vivi Rosalita membangunkanku dari tidur untuk segera meraih hape yang tertindih ujung bantal. Siapa sich, pagi-pagi begini sudah telepon? Ah, ternyata hanya sebuah misscall dan, buseetttt...., sudah ada enam panggilan tak terjawab dan satu SMS, semuanya dari Mar.

Panas sinar matahari membuatku mengernyitkan mata saat membuka jendela kamar. Kata orang-orang kota yang pernah kesini, kampungku sangat indah, pohon-pohon rindang di samping rumah beserta kicauan burung setiap pagi hari. Sesuatu banget, hal yang tidak pernah mereka temukan dirumahnya meskipun sebenarnya aku sendiripun juga jarang mendengarkan kicauan burung tersebut karena terlalu asyik dengan mimpi tentang Mar yang membuatku selalu bangun kesiangan. Untunglah, pagi ini Mar membangunkanku lewat berisik misscall-nya. Sambil leyeh-leyeh di lincak bambu teras depan, kubuka SMS dari Mar.

...Mz, nt4r $i4nG jLn2 yux k B4tu1000...

"Aduh, ke Batu Seribu...?", kataku dalam hati. Sambil menguap kupejamkan lagi mataku, siang ini aku sedang malas untuk keluar, Mar. Walaupun hanya berjarak sepuluh kilometer ke arah timur, tepatnya masuk wilayah kecamatan Bulu, namun aku lebih ingin menanti berita baik hari ini dalam sebuah lamunan. Harus aku akui kalau Batu Seribu adalah tempat yang indah, perbukitan dengan tebing-tebing batu coklat kehitaman yang menyembul di antara hijau pepohonan hutan, disana kita menyaksikan kumpulan kera-kera liar dalam keasrian alamnya. Yups, paling kamu hanya ingin berpoto selpi denganku di depan mulut goa patung buaya purba untuk kau upload ke dinding pesbuk dengan tag #bersama mas pacar lalu beberapa menit kemudian teman-temanmu akan membombardir dengan jempol dan komentar-komentar ga jelas boooo'.....!! Lagian, kamu juga tahu kalau hari ini bapakku akan ke rumahmu untuk melamarmu dan membicarakan pernikahan kita beserta semua syarat-syaratnya. Kumainkan jempolku untuk mengetik balasan SMS kepada Mar.

...Nanti sore aja makan di alun2 Sukoharjo...

*******

"Mar, kamu beda malam ini...", kataku.

"Beda kenapa, mas...?".

"Tambah cantik...", pungkasku sambil menghindari cubitan Mar. Norak, lebay, kampungan! Ah, biarkan saja orang-orang disekitarku pada tersenyum mencibir melihat tingkah polah kemesraanku dengan dik pacar malam ini. Menikmati lesehan Mbak Denok bersama Mar di sisi timur alun-alun sebenarnya bukan lagi hal yang menarik, entah sudah keberapa kalinya kita makan disini. Namun tidak untuk malam ini, kecantikan Mar yang mungkin hanya masuk kategori tingkat setengah RT telah membuatku bersyukur pada momen terindah yang telah Tuhan berikan. Dulu, ketika masih jomblo, aku beranggapan bahwa hal terindah itu adalah terdampar di pulau tak berpenghuni bersama Syahrini.

Babak baru kehidupanku akan segera dimulai. Besok pagi, aku akan menjalani ritual nemu bocah sebagai penolak bala lusan agar bisa melangsungkan pernikahan dengan Mar. Mbah Manto telah menyusun sebuah skenario cerita cintaku. Mas Parno akan memboncengkanku ke pasar Tawangsari dan meninggalkan aku seorang diri disana, kemudian bapaknya Mar akan datang menghampiriku dengan dialog yang telah dipersiapkan.

"Ini kok ada anak lelaki sendirian disini, kasihan sekali. Kamu orang mana le...?"

"Saya bingung, pak. Saya tersesat, tidak tahu jalan pulang..."

"Ya udah, begini saja. Kamu ikut aku pulang dan akan aku angkat jadi anakku biar bisa bantu-bantu kerja...".

"Matur nuwun, pak...", kataku menyetujui tawaran bapaknya Mar lalu mengikutinya pulang. Sesampai di rumah, bapaknya Mar berteriak-teriak pada para tetangga sekitar, "Wahai, mbah, pakde, paklek, kangmas, mbakyu, aku nemu anak...!! Nemu anak...!!", sedangkan ibunya Mar menyiapkan kenduri syukuran karena akan mengangkat anak baru. Setelah menjadi anak angkatnya, bapak dan ibunya Mar berencana menikahkanku dengan Mar. Dan, karena aku telah melepas semua identitas dari keluarga asliku maka segala hal buruk tentang lusan otomatis tidak berlaku lagi atau telah ditawarkan. Nanti, di hari pernikahan, bapak dan ibuku dengan mengajak segenap saudara dan handai taulan akan datang bukan sebagai rombongan lamaran dari mempelai pria melainkan mencari anaknya yang hilang. Mereka mendengar kalau bapaknya Mar telah mengangkat anak dan mereka ingin memastikan itu anaknya atau bukan. Setelah yakin kalau mempelai pria adalah anaknya, mereka menyerahkan seserahan sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat anaknya dengan baik bahkan sangat senang sekali karena bersedia menikahkan sekalian, lalu memberikan restunya kepada kedua mempelai.

--- oOo ---

Catatan:

-Lusan (telu pisan), sebuah akronim dari bahasa Jawa yang berasal dari kata telu (tiga) dan pisan (pertama).

-Tetenger (tanda), pemberian identitas pada suatu fenomena alam dari orang bijak agar selalu diingat anak turunnya untuk dijadikan pelajaran atau diambil hikmahnya.

-Sowan (menghadap), silaturahmi atau kunjungan kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya.

-Matur nuwun (terima kasih), bahasa Jawa yang berarti terima kasih.

-Klungsu, bahasa Jawa untuk menyebut isi buah asam.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community,  Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kota Kelahiran. Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun