Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FKK] Romantika 31

14 Juni 2014   00:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:50 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

...sembilan puluh lima, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh sembilan, seratus satu...

Ups..., sepertinya ada angka yang terlewatkan dalam gumanan hitunganku. Membayangkan untuk turun lagi demi sebuah akurasi perhitungan jumlah anak tangga membuatku kaki terasa lemas, mungkin karena itu pula selama ini aku selalu tidak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlah anak tangga di gunung Bumi Arum Majasto ini. Namun aku tidak sendiri, bila aku bertanya pada lima orang temanku pasti mereka mempunyai angka sendiri-sendiri yang tidak sama sebagai jawabannya, sungguh sebuah kesalahan kolektif yang bisa membuat bibirku tersenyum untuk mencari penghiburan, ternyata bukan aku saja yang bodoh berhitung.

Aku sering berpikir kalau sebenarnya tempat ini lebih pantas masuk kategori bukit tapi tidak tahu mengapa masyarakat di daerahku lebih suka menyebut segunduk batu dengan sebutan gunung seperti halnya mereka menyebut segunduk batu setinggi dua meter disebelah selatan kantor kepala desaku, Ponowaren, dengan nama Gunung Wahyu. Ah, biarkan saja, itu hanya tetenger, toh gunung Majasto bertinggi enam puluh meter juga nampak menjulang indah di tepi sungai Dengkeng, sebuah sungai yang pernah digunakan Joko Tingkir dengan rakitnya menuju Demak dan oleh karenanya banyak nama desa dan situs sejarah di kabupaten Sukoharjo ini yang berhubungan dengan Joko Tingkir. Dimulai dari Banyubiru, di kecamatan Weru sampai istananya di Pajang, kecamatan Kartosuro. Sebuah masjid tua yang masih nampak gagah dan komplek pemakaman Ki Ageng Sutowijoyo yang eksotis selalu membuatku betah berlama-lama di atas gunung ini. Di sebelah selatan gunung inilah mengalir sungai Dengkeng dimana dulu aku kecil kadang kala bermain dibawah pohon asem besar kepunyaan Joko Tingkir. Konon, Joko Tingkir hendak beristirahat di padepokan Ki Ageng Sutowijoyo dan agar tidak hanyut maka dia menindihkan sebuah klungsu, sebagai pemberat pada rakitnya. Satu hal lagi yang unik dari komplek pemakaman ini adalah galian lubang kuburan yang hanya sedalam lima puluh centimeter saja, namun karena masyarakat percaya kalau disini adalah bumi harum maka mayat-mayat yang dimakamkan disini tidak pernah mengeluarkan bau busuk meski hanya terpendam setengah meter didalam tanah.

Jarum jamku sudah menunjuk ke angka tiga tapi aku belum melihat tanda-tanda kedatangan mbah Manto, lelaki tua yang disarankan bapak agar aku sowan kepadanya dengan semua permasalahanku. Dan, bila suatu saat nanti ada presenter TV bersedia mewawancarainya, mereka harus menuliskan kata budayawan dibawah slide namanya karena keluasan wawasannya pada tradisi dan budaya Jawa. Sabar, mungkin mbah Manto masih memberi makan kambing-kambingnya. Menunggu disini pun juga tidak akan pernah merasa bosan sebab dari puncak ini aku bisa melihat gunung Taruwongso disebelah timur laut, gunung cintaku dengan Mar. Lalu kuarahkan pandanganku ke selatan dimana ada kampungku yang hanya berjarak lima ratus meteran. Sebuah kampung kecil di pedesaan dengan hamparan hijau padi yang mengelilinginya. Kuamati satu persatu atap-atap rumah tuk mencoba menerka dimana letak rumah tua tempatku dilahirkan. Ya, itu dia, aku bisa menemukannya. Kugeser pandanganku sedikit untuk mencari rumah pacarku. Mar, andai sekarang kau ada disini, tentu kita bisa bercerita banyak dengan kepala dingin tentang masalah percintaan aku dan kamu.

Akhirnya mbah Manto datang juga. Cleeeesss...., rasanya seperti tersiram air es. Perlahan aku menghampiri mbah Manto yang nampak asik menikmati kreteknya di pendopo bangsal untuk mengkonsultasikan derita lusan-ku padanya. Ya Tuhan, lumpuhkanlah ingatan mbah Manto agar dia tidak mengingat kejadian sebulan yang lalu di angkringan saat dia melemparku dengan sendok kopi ketika aku ngeyel menyanggah ceritanya. Kira-kira empat kilometer di utara gunung ini, masih dalam aliran sungai Dengkeng terdapat billabong bernama Kedung Srengenge, tempat Joko Tingkir bertarung dengan ratusan buaya. Sang raja buaya berhasil dikalahkan olehnya dengan cara mencabut lidahnya lalu sebagai hukuman kepada raja buaya, Joko Tingkir bersabda kalau nantinya seluruh buaya di dunia ini akan terlahir tanpa mempunyai lidah. "Lha terus kenapa buaya-buaya di Afrika, Amerika, Australia, juga nggak punya lidah? Enggak bisa begitu dong, mbah...!!". Dari sinilah awal sulapan mbah Manto membuat sendok melayang ke mukaku.

*******

...tutupen botolmu, tutupen oplosanmu, emannen nyawamu ojo mbok terus-teruske...

Suara nyaring Vivi Rosalita membangunkanku dari tidur untuk segera meraih hape yang tertindih ujung bantal. Siapa sich, pagi-pagi begini sudah telepon? Ah, ternyata hanya sebuah misscall dan, buseetttt...., sudah ada enam panggilan tak terjawab dan satu SMS, semuanya dari Mar.

Panas sinar matahari membuatku mengernyitkan mata saat membuka jendela kamar. Kata orang-orang kota yang pernah kesini, kampungku sangat indah, pohon-pohon rindang di samping rumah beserta kicauan burung setiap pagi hari. Sesuatu banget, hal yang tidak pernah mereka temukan dirumahnya meskipun sebenarnya aku sendiripun juga jarang mendengarkan kicauan burung tersebut karena terlalu asyik dengan mimpi tentang Mar yang membuatku selalu bangun kesiangan. Untunglah, pagi ini Mar membangunkanku lewat berisik misscall-nya. Sambil leyeh-leyeh di lincak bambu teras depan, kubuka SMS dari Mar.

...Mz, nt4r $i4nG jLn2 yux k B4tu1000...

"Aduh, ke Batu Seribu...?", kataku dalam hati. Sambil menguap kupejamkan lagi mataku, siang ini aku sedang malas untuk keluar, Mar. Walaupun hanya berjarak sepuluh kilometer ke arah timur, tepatnya masuk wilayah kecamatan Bulu, namun aku lebih ingin menanti berita baik hari ini dalam sebuah lamunan. Harus aku akui kalau Batu Seribu adalah tempat yang indah, perbukitan dengan tebing-tebing batu coklat kehitaman yang menyembul di antara hijau pepohonan hutan, disana kita menyaksikan kumpulan kera-kera liar dalam keasrian alamnya. Yups, paling kamu hanya ingin berpoto selpi denganku di depan mulut goa patung buaya purba untuk kau upload ke dinding pesbuk dengan tag #bersama mas pacar lalu beberapa menit kemudian teman-temanmu akan membombardir dengan jempol dan komentar-komentar ga jelas boooo'.....!! Lagian, kamu juga tahu kalau hari ini bapakku akan ke rumahmu untuk melamarmu dan membicarakan pernikahan kita beserta semua syarat-syaratnya. Kumainkan jempolku untuk mengetik balasan SMS kepada Mar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun