Kita punya Dewan Transportasi Kota Jakarta. Sayangnya, gebrakannya nyaris tidak ada. Organda (Organisasi Angkutan Darat) pun hanya suka ‘berteriak’ dan pemerintah pun rapat dengan Organda ketika minta dan membahas kenaikan tarif angkutan. Tidak pernah kita mendengar bagaimana Ditjen Perhubungan Darat menyusun standar angkutan umum di Ibukota dan ‘memaksa’ Organda untuk menerapkan dan menjalankan seribu persen.
Padahal, alokasi anggaran yang disediakan untuk Kementerian Perhubungan selama 40 tahun terus meningkat triliunan rupiah. Untuk tahun 2016 saja, anggaran Kemenhub mencapai Rp 65 triliun, naik dari Rp 48,5 triliun pada APBN-P 2015.
Selain standar transportasi umum yang tidak ada, jumlah buskota di Ibukota pun tidak pernah bertambah. Data DItjen Hubdat 2014 menunjukkan, jumlah bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) sejak 2010 hingga 2014 tidak pernah bertambah dari angka 91.082. Inilah yang membuat penumpang bersesakan di dalam buskota.
Saatnya Bertindak
Karena itu, kondisi yang telah berlangsung puluhan tahun ini sudah tidak bisa dibiarkan. Generasi muda Indonesia tentu saja sangat berharap adanya perubahan dan perbaikan standar pelayanan angkutan umum di Ibukota. Mudah saja untuk melakukan perubahan tersebut.
Pertama, buatlah mekanisme hubungan kerja yang memacu produktivitas antara supir dengan perusahaan bus. Sistem setoran sudah ketinggalan zaman. Kedua, buatlah insentif pajak bagi pengusaha buskota, apakah proses pembelian bus terutama untuk produksi bus dalam negeri, dibebaskan dari pajak, demikian pula dengan pajak spareparts dan lain sebagainya.
Ketiga, ini yang penting. Kementerian Perhubungan harus segera membuat standar pelayanan yang maksimum. Kursi penumpang dari bahan fiber plastik yang keras sudah saatnya diganti, besi-besi kursi yang penuh karat harus sudah tidak ada lagi. Pasang AC. Jika tidak memenuhi standar, KEUR alias KIR tidak diberikan, apalagi buskota, metromini, kopaja, angkot, mikrolet yang knalpotnya hitam pekat.
Keempat, buat sistem tarif yang terjangkau rakyat banyak dengan standar pelayanan yang tinggi. Caranya dengan memberikan subsidi. Kelima, larang pengamen, pedagang kaki lima, untuk naik ke buskota, kopaja, metromini, dan angkot. Keenam, buka pengaduan bagi masyarakat bila ada supir ‘nakal’ misalnya dengan mengoper penumpang atau menurunkan penumpang di tengah jalan. Sanksi kepada perusahaan harus diberikan bila sang supir melakukan tindakan seperti itu.
Sudah saatnya transportasi publik Ibukota diubah Pak Jokowi. Cobalah sekali-kali Pak Jokowi dan Pak Jonan naik turun Metromini, PPD, Mayasari Bakti, dan lain sebagainya. Segera bertindak Pak!
Â
Â