Mohon tunggu...
W. Efect
W. Efect Mohon Tunggu... Penulis - Berusaha untuk menjadi penulis profesional

if you want to know what you want, you have to know what you think

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Ketika Angin Meliar Irama Musim

9 Mei 2017   09:12 Diperbarui: 9 Mei 2017   09:30 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pagi itu terasa ada kesejukan,

angin berhembus merasuk sampai relung hati

menyisakan pikiran-pikiran tengah gulana

kehangatan matahari mulai menghangatkan jiwa

dan orang-orang bersemangat mencari tempat-tempat

supaya pagi tambah berseri

begitu hari menyibak pagi, salampun berkumandang

mencari sosok-sosok hendak diajak meniupkan semangat pagi,

semangat barisan terlanjur termeteraikan bakti inisiator

supaya tiang-tiang penyangga tak lagi berdiri tegak.

bumipun tak jemu-jemu memompa kumparan porosnya,

bergerak memutar melingkar, menjadi sasaran pijak

matahari hingga menggeliat mimpi-mimpi,

kalau saja hembusan angin belum juga mampu meniupkan kesejukan

selalu saja memekikkan semangat inisiator menggelora

supaya tiang-tiang penyangga semakin tergores pekiknya,

walau masih tersisa semangat supaya tiang-tiang tetap berdiri tegak.

gelombang yang terus menghantam,

gelombang angin terus menyusup dalam pikiran,

menjadi pertanda akan robohnya tiang-tiang penyangga

anginpun semakin menelanjangi irama musim ini

kumparan derunya meraung hendak mencari sosok-sosok target

dengan harapan mereka dapat memandang dengan sebelah mata

menjadikan irama musim ini seakan bersatu menghalau siapa saja

sudah terperangkap mimpinya.

tapi siapa sangka, gelombang terus memburu,

angin meliar irama musim berusaha mengembalikan

tiang-tiang hampir roboh supaya dapat tetap berdiri tegak kembali

menjadi gelombang lain, peduli akan kesatuan,

peduli jadi satu tujuan untuk tetap menjadi pondasi

tiang-tiang itu supaya tetap berdiri tegak

walau kumparan angin selalu saja mengkawatirkan

ketika tiang-tiang itu mulai miring.

Jakarta 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun