Mohon tunggu...
W. Efect
W. Efect Mohon Tunggu... Penulis - Berusaha untuk menjadi penulis profesional

if you want to know what you want, you have to know what you think

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selagi Masih Ada Kesempatan

12 April 2017   07:42 Diperbarui: 12 April 2017   07:53 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya setiap orang tentu memiliki kenyakinan sendiri dalam menilai seseorang baik pria maupun wanita. Aku sendiri juga memiliki penilaian yang bersifat personal.

Bagiku menilai seorang wanita tidak sekedar terbuai kecantikan semata, tapi berusaha memahami sampai kelubuk hati dengan kata lain seorang bisa dikatakan cantik itu dari luar dan dalam. Bisa saling menerima terlebih masalah keterbatasan hidup.

Aku sadar kalau diriku ini memiliki banyak kekurangan, memiliki banyak keterbatasan.

Justru karena Asti memiliki kepribadian sebagaimana kuharapkan, disamping memiliki kesamaan pandangan tetapi ia juga dapat menerima diriku seperti apa adanya, semakin memacu minat untuk saling bertegur sapa, untuk saling berbagi pengalaman hidup.

Berhadapan dengan Asti, ada saja yang mesti ku perbincangkan. Keyakinanku semakin berkembang untuk selalu mengajak bersenda, apalagi menyinggung limpah karunia yang telah di berikan Tuhan pada Umat-Nya, barangkali begitulah, Asti seperti dikaruniakan Tuhan kepada diriku buat menoreh masa depan yang pasti bakal menjadi milik kami berdua. Begitulah kata hati ini setiap kali membuat kesimpulan pribadi.

Aku juga menyadari, segala makluk hidup dan yang mati sepenuhnya berada pada kekuasaan yang maha kuasa, kalau sudah begitu, harus ku telan pahit getirnya kehidupan ini. Kenyataan ini merupakan siklus baru, bahkan menjadi perdebatan batin sulit sekali diterjemahkan dalam, kehidupan sehari-hari.

Berulangkali Ibu memberikan arahan agar jangan terlalu tergelincir dalam pemikiran yang berkepanjangan tentang Asti.

“Pahamilah dari berbagai segi kehidupan Abi, bagaimanapun juga kamu harus bisa melupakan kenangan masa lalu terhadap Asti, yang ada adalah kehidupan baru, berdoalah pada Tuhan agar kekuatan doa dapat selalu membimbingmu dalam ketabahan, kesabaran dan kebenaran.”

Ku hela napas panjang, ku tatap roman wajah ibu, ada cerminan kebahagiaan, namun juga terselip  keprihatinan mendalam manakala memikirkan perjalanan hidupku akhir-akhir ini. Aku memang harus dapat menyadari sepenuhnya, walau sangat sulit kiranya membuang jauh-jauh kenangan peristiwa di masa lalu.

Ibu diam saja, kerut didahinya makin menambah keriput wajah tampak jelas. Iapun melangkah perlahan keruang dalam. Aku masih berusaha untuk memahami suasana jiwaku, walau tetap masih kesulitan.

Aku tertunduk lesu, sesekali juga menghela napas panjang atau mendesah. Kupandangi langit makin kelabu ditingkahi awan mengambang, bergerak perlahan seakan hendak jatuh kebumi.

Terasa diatas sana ada sesuatu yang hidup.

Tak kusadari anganku terbang begitu saja, melayang dibatas awan, mengapai masa lalu yang tak pasti berulang. Yah aku masih ingat!

Ruangan pameran itu sekalipun padat pengunjung tak begitu gerah, karena telah trerpasang AC. Tiga pelukis wanita berusaha menjelaskan satu-satu pertanyaan dari para pengunjung maupun wartawan yang mewawancarai mereka.

Tiga corak lukisan terpampang rapi, ada yang bercorak naturalisme, realisme maupun surealisme.

Sebuah lukisan bergaya naturalisme cukup membuatku terpikat. Asti nama pelukis wanita itu dengan gayanya yang santai, kalem, diselingi senyum dalam setiap bicaranya terus saja ringan lidahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sempat aku ajukan.

Terus terang saja, disamping kagum dengan salah satu lukisannya, aku juga kagum dengan kepribadiannya. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan terurai, dandanannya cukup rapi, gaun yang dikenakan cukup padu dengan warna kulitnya yang kuning langsat dan bibirnya yang tipis semakin merak ati.

“Suasana alam ini ku buat sewaktu berada di tanah Sumbawa. Kuda-kuda itu telah memikat hatiku, walau mungkin kamu akan mengatakan masih kasar sentuhan kwas yang ku toreh diatas kanvas, namun sebenarnya aku sudah maksimal mengerjakan lukisan ini, sudah kucurahkan sepenuh hati dan seluruh kebisaanku.” Jelas Asti, tak lupa diakhir pembicaraan mengembang senyuman yang ku balas tersenyum padanya.

“Maaf.’ Jawab ku, “aku sebenarnya kurang begitu paham dengan lukisan, tapi karya yang satu ini membuatku terpikat, rasanya ingin memiliki bila ada kesempatan kamu menjual lukisan tersebut.” Aku berkata begitu karena memang  terkesan panorama Sumbawa dengan kuda-kuda tersebut mencerminkan adanya ketegaran jiwa.

Kami bertegur sapa cukup lama, dan diakhir pembicaraan ada suatu kesepakan untuk membeli lukisan tersebut, setelah kami bertukar kartu nama, segera ku langkahkan kaki keluar ruang. Kupandangi Galeri tersebut, masih banyak orang keluar masuk ruangan, rata-rata mereka ingin mengetahui lukisannya tersebut, jarang yang membeli lukisan karena harganya yang mungkin tidak begitu terjangkau.

Bagiku harga bukanlah persoalan, sebuah karya memang harus di hargai sesuai dengan jerih payahnya. Aku sendiri sebenarnya bukan kolektor, ketertarikan pada lukisan tersebut, karena aku senang berada di alam terbuka, terasa ada yang hidup dalam lukisan teersebut.

Hal yang justru membuatku tak habis pikir, setelah lukisan dikirim langsung oleh pelukisanya sendiri, ia tak mau menerima uang sepeserpun dariku, padahal kesepakatan harga tersebut sudah aku siapkan. Asti mengatakan kalau lukisan tersebut dihadiahkan khusus untuk ku.

Aku baru saja mengenalnya, tapi kenapa ia begitu mempercayaiku bahkan lukisan yang cukup berharga tersebut diberikan kepadaku. Aku tetap mendesaknya agar mau menerima uang tersebut namun Asti tetap menolaknya.

*****

Aku mencoba ke sanggarnya, ternyata Asti mengumpulkan pelukis Wanita yang di wadahi dalam sanggar lukis yang didirikannya. Program salah satunya adalah pameran lukisan. Menurut informasi dari salah satu temannya, bahwa Asti juga merekrut anak jalanan yang berada disekitar sanggar untuk dididik menjadi pelukis.

Ia memberikan bantuan kerpada Anak jalanan itu sebagai bentuk kegiatan social yang dilakukannya, “Selagi masih ada kesempatan, aku akan berbuat kebaikan pada sesamaku, apapun akan aku lakukan bila masih ada kesempatan dan aku mampu melakukannya.” Begitu kata Asti suatu hari.

Kadang aku juga berpikir, “Selagi masih ada kesempatan?” kesempatan yang mana, kalimat itu mengandung makna yang berbeda bila diartikan. Bahkan aku juga berpikir, seseorang melontarkan kalimat itu. Pasti ada maksud dibalik ungkapan tersebut. Tapi aku punya keyakinan kalimat itu dikatakannya secara tulus dan iklas oleh Asti.

Selagi masih ada kesempatan. Namun kesempatan itu telah dilalui oleh Asti, ia telah banyak berbuat kebaikan kepada sesamanya. “Apapun, selagi masih ada kesempatan.” Kalimat itu terus bergaung ditelingaku.

Dan kesempatan bagi Asti telah berakhir. Penyakit kanker payudara, yang menggerogotinya selama dua tahun, sudah tidak bisa dipertahankan, Tuhan telah mengambilnya, semua, semua yang ada pada diri Asti.

Asti telah meninggalkan kami semua, ia telah tenang dialamnya, dan aku percaya Tuhan telah memberikan tempat layak baginya. Asti telah berkesempatan memberikan yang terbaik bagi temen-temennya, “Selagi masih ada kesempatan, berbuat baiklah pada sesama kita.” Kalimat yang tentu baik dan pantas kita pertimbangkan untuk melakukannya.

 april 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun