Mohon tunggu...
W. Efect
W. Efect Mohon Tunggu... Penulis - Berusaha untuk menjadi penulis profesional

if you want to know what you want, you have to know what you think

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selagi Masih Ada Kesempatan

12 April 2017   07:42 Diperbarui: 12 April 2017   07:53 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terasa diatas sana ada sesuatu yang hidup.

Tak kusadari anganku terbang begitu saja, melayang dibatas awan, mengapai masa lalu yang tak pasti berulang. Yah aku masih ingat!

Ruangan pameran itu sekalipun padat pengunjung tak begitu gerah, karena telah trerpasang AC. Tiga pelukis wanita berusaha menjelaskan satu-satu pertanyaan dari para pengunjung maupun wartawan yang mewawancarai mereka.

Tiga corak lukisan terpampang rapi, ada yang bercorak naturalisme, realisme maupun surealisme.

Sebuah lukisan bergaya naturalisme cukup membuatku terpikat. Asti nama pelukis wanita itu dengan gayanya yang santai, kalem, diselingi senyum dalam setiap bicaranya terus saja ringan lidahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sempat aku ajukan.

Terus terang saja, disamping kagum dengan salah satu lukisannya, aku juga kagum dengan kepribadiannya. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan terurai, dandanannya cukup rapi, gaun yang dikenakan cukup padu dengan warna kulitnya yang kuning langsat dan bibirnya yang tipis semakin merak ati.

“Suasana alam ini ku buat sewaktu berada di tanah Sumbawa. Kuda-kuda itu telah memikat hatiku, walau mungkin kamu akan mengatakan masih kasar sentuhan kwas yang ku toreh diatas kanvas, namun sebenarnya aku sudah maksimal mengerjakan lukisan ini, sudah kucurahkan sepenuh hati dan seluruh kebisaanku.” Jelas Asti, tak lupa diakhir pembicaraan mengembang senyuman yang ku balas tersenyum padanya.

“Maaf.’ Jawab ku, “aku sebenarnya kurang begitu paham dengan lukisan, tapi karya yang satu ini membuatku terpikat, rasanya ingin memiliki bila ada kesempatan kamu menjual lukisan tersebut.” Aku berkata begitu karena memang  terkesan panorama Sumbawa dengan kuda-kuda tersebut mencerminkan adanya ketegaran jiwa.

Kami bertegur sapa cukup lama, dan diakhir pembicaraan ada suatu kesepakan untuk membeli lukisan tersebut, setelah kami bertukar kartu nama, segera ku langkahkan kaki keluar ruang. Kupandangi Galeri tersebut, masih banyak orang keluar masuk ruangan, rata-rata mereka ingin mengetahui lukisannya tersebut, jarang yang membeli lukisan karena harganya yang mungkin tidak begitu terjangkau.

Bagiku harga bukanlah persoalan, sebuah karya memang harus di hargai sesuai dengan jerih payahnya. Aku sendiri sebenarnya bukan kolektor, ketertarikan pada lukisan tersebut, karena aku senang berada di alam terbuka, terasa ada yang hidup dalam lukisan teersebut.

Hal yang justru membuatku tak habis pikir, setelah lukisan dikirim langsung oleh pelukisanya sendiri, ia tak mau menerima uang sepeserpun dariku, padahal kesepakatan harga tersebut sudah aku siapkan. Asti mengatakan kalau lukisan tersebut dihadiahkan khusus untuk ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun