Hi Kompasianer!
Sadarkah bahwa ternyata kita selalu ingin menjadi bagian. Baik baik dari keluarga, dari kampung halaman, juga dari kelompok bermain, atau bahkan dari ruang maya yang tidak pernah kita jamah secara fisik. Henri Tajfel, adalah seorang psikolog kelahiran Polandia, memberikan bingkai yang sederhana, tetapi juga kompleks untuk fenomena dalam kajian Teori Identitas Sosial. Dalam tumpukan buku teks akademik yang mungkin terlihat kaku, teori ini justru seperti benang merah dalam hidup kita yang sering berkelok-kelok.
Apa yang ditawarkan Tajfel? Bahwa manusia ternyata punya kecenderungan melebur dalam kelompok tertentu, membentuk identitas sosialnya di sana, lalu (sayangnya) manusia juga suka melirik kelompok lain dengan sudut pandang miring atau negatif. Tajfel, dalam eksperimen kecilnya yang sering disebut Minimal Group Paradigm, menemukan bahwa hanya dengan membagi manusia secara acak, misalnya, siapa yang suka manga Naruto atau One Piece saja mereka sudah mulai membela kelompoknya sendiri. Begitu sederhana, tetapi juga begitu rumit.
Sebaliknya, apa jadinya jika teori ini diterapkan dalam skala yang jauh lebih besar, seperti dalam politik, media sosial, atau hubungan antar etnis? Bagaimana teori ini dapat membantu kita memahami tantangan di masyarakat yang semakin terfragmentasi? Kita akan bahas di bawah ini.
Menggali Lebih Dalam, Tiga Pilar Identitas Sosial
Ketika Tajfel membagi teori ini ke dalam tiga pilar kategorisasi, identifikasi, dan perbandingan sosial, ia sebenarnya sedang menggambarkan inti dari perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Mari kita uraikan lebih lanjut.
1. Kategorisasi Sosial
Manusia menciptakan kategori untuk mempermudah memahami dunia. Ini adalah mekanisme alami yang membantu otak kita memproses informasi dengan cepat. Namun, mekanisme ini membawa risiko: kategorisasi sering kali mereduksi individu menjadi stereotip.
Contoh Aktual: Polarisasi Politik di IndonesiaDalam konteks politik, kategorisasi ini terlihat dalam pembagian kubu "cebong" dan "kampret" selama Pemilu 2019. Identitas politik direduksi menjadi dua kubu yang saling bertentangan, menghapus kompleksitas individu. Padahal, banyak orang mungkin memiliki pandangan politik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan salah satu kelompok tersebut.
Kutipan dari Erich Fromm memperkaya refleksi ini: "Manusia memiliki kebutuhan untuk masuk ke dalam kerangka sosial tertentu, meskipun kerangka itu dapat mempersempit kebebasannya." Kategorisasi menciptakan kenyamanan, tapi juga belenggu.
2. Identifikasi Sosial