Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Putusan MK, Batu Kecil yang Mengguncang Kolam Politik

22 Agustus 2024   08:51 Diperbarui: 22 Agustus 2024   12:30 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap langkah yang diambil bisa berarti pergeseran besar dalam dinamika politik yang sudah rapuh. Penundaan pendaftaran partai mungkin terlihat sebagai langkah yang bijak, tetapi ini hanya secuil dari teka-teki besar yang kini membingungkan setiap pelaku politik di negeri ini.

Menariknya, di balik semua ini, ada sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya sedang terjadi. Proses reterritorialisasi---di mana kekuatan baru mencoba membangun ulang kekuasaan dari reruntuhan lama---mulai tampak di cakrawala. 

Dalam A Thousand Plateaus, Deleuze dan Guattari juga membahas reterritorialisasi sebagai fenomena alami setelah deterritorialisasi, di mana struktur-struktur baru mulai terbentuk dari reruntuhan yang ada (Deleuze & Guattari, 1980, hlm. 55-65). 

Fenomena serupa bukanlah hal baru dalam sejarah politik, baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Misalnya, di Malaysia, pasca Pemilu 2018, terjadi perubahan signifikan dengan kemenangan koalisi Pakatan Harapan yang mengakhiri dominasi Barisan Nasional yang telah berkuasa selama lebih dari 60 tahun. 

Akhirnya, meskipun tampak seperti perubahan besar, struktur kekuasaan lama tetap berpengaruh di balik layar. 

Ketidakstabilan politik yang terjadi kemudian memungkinkan tokoh-tokoh dari pemerintahan lama untuk kembali memegang kendali, dan pada tahun 2020, melalui serangkaian manuver politik, kekuasaan kembali beralih ke tangan koalisi yang melibatkan elemen-elemen lama, menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu berakar dalam.

Di Filipina, setelah berakhirnya masa jabatan Presiden Rodrigo Duterte pada 2022, yang dikenal dengan kebijakan kontroversialnya, ada harapan akan perubahan. 

Meskipun, kemenangan Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr., putra dari mantan diktator Ferdinand Marcos, menunjukkan bagaimana kekuatan politik lama dapat kembali dengan wajah baru. 

Meskipun tampaknya ada pergeseran dalam politik Filipina, banyak elemen dari kekuasaan sebelumnya tetap bertahan, memperlihatkan bahwa perubahan di permukaan sering kali tidak mencerminkan transformasi yang mendalam dalam struktur kekuasaan.

Seperti yang telah diperingatkan oleh Deleuze dan Guattari, reterritorialisasi tidak selalu menghasilkan stabilitas yang lebih baik; sebaliknya, ia dapat menciptakan struktur kekuasaan yang lebih dominan dan represif dibandingkan yang sebelumnya.

Untuk memperjelas, kita dapat melihat contoh konkret dari sejarah politik Indonesia. Misalnya, pada era pasca-Reformasi 1998, kita menyaksikan proses reterritorialisasi di mana kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh rezim Orde Baru diambil alih dan direstrukturisasi oleh aktor-aktor politik baru, yang sebagian besar terdiri dari elit politik lama yang berhasil menyesuaikan diri dengan aturan baru. 

Ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perubahan signifikan, struktur kekuasaan baru seringkali tetap didominasi oleh aktor-aktor lama yang hanya menyesuaikan diri dengan konteks yang berubah, bukan sepenuhnya berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun