YOLO atau You Only Live Once yang dalam Bahasa Indonesia bermakna Kamu Hanya Hidup Sekali adalah sebuah istilah yang banyak digunakan oleh kalangan millenial dan banyak pula berseliweran di sosial media.
Di Tiktok misalnya, YOLO bahkan jadi tren dimana anak-anak muda membuat keputusan yang lebih mengutamakan kebebasan, kesenangan, gaya hidup yang merdeka, serta terkesan bodo amat dengan keputusan yang diambil tersebut selama mereka merasakan kebahagiaan.
Misalnya saja, seorang Kreator Konten Tiktok yang sudah resign selama dua minggu dan belum mendapatkan pekerjaan pengganti, melihat sepasang sepatu yang dari sisi finansial ia sadar betul bahwa bukan waktu yang tepat baginya untuk membeli produk dengan harga selangit tersebut.
Namun dengan kesadaran penuh pula, mengandalkan YOLO dan keinginan hatinya terhadap produk yang sudah lama ia pendam itu, Kreator Konten tersebut tetap memutuskan membelinya.Â
Padahal, ada risiko di balik keputusan tersebut, yakni finansial yang kurang stabil dan mungkin akan berantakan jika dalam rentang waktu tertentu, Kreator Konten tersebut belum mendapatkan penghasilan lain untuk menggantikan penghasilannya yang sudah berhenti sepenuhnya.
Namun atas nama kebahagiaan, ia tetap memutuskan membeli sepasang sepatu tersebut.Â
Mengenal YOLO
Dilansir dari Kompas.com, YOLO pertama kali muncul dan populer ketika digunakan oleh artis musik hip hop Kanada, Drake, melalui lagunya yang berjudul "The Motto". Ia kemudian memperkenalkan istilah tersebut lewat akun Twitternya (Yang kini bernama X), lalu tagar YOLO membanjiri Twitter seharian setelah unggahan tersebut.Â
Sejak saat itu, istilah tersebut bertransformasi menjadi slogan yang digunakan oleh Millenial yang menurut buku YOLO: Exploring the Cultural Salience of Twitter (2014) menjadi moto hidup dan budaya di kalangan anak muda Amerika tahun 2011-2012 dan kerap dikaitkan dengan menikmati hidup yang maksimal dan bebas.
Sayangnya, meski mendapatkan kebahagiaan sesaat, keputusan hidup mengandalkan YOLO terbilang berbahaya untuk masa depan.Â
Pasalnya, mereka yang memegang prinsip hidup ini biasanya cenderung bersifat konsumtif dalam hal-hal yang sifatnya bukan kebutuhan primer; uang bisa dicari, tapi usia 20an ngga bisa kembali - liburan aja dulu. Atau, uang bisa dicari, tapi promo sepatu mahal ini ngga datang 2 kali - beli aja dulu.Â
Beli aja dulu, masa depan kita pikirkan belakangan.Â
Keputusan para penganut YOLO kerap disanding-sandingkan dengan perilaku konsumtif yang berimbas pada munculnya hedonisme.Â
Selamat tinggal YOLO, mari sambut era YONO
Kabar baiknya, konsep hidup YOLO yang mengutamakan kebahagiaan daripada kesehatan finansial di masa depan itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan berpindah ke era YONO yang merupakan akronim You Only Need One atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti Kamu Hanya Butuh Satu.
Dilansir dari MyNews, tren ini mulai diimplementasikan oleh warga Korea Selatan terutama kalangan Gen Z dan milenial. Untuk memperkuat pernyataan ini, Nonghyup Bank (NH Bank), salah satu Bank dari Korea selatan, mengeluarkan data jumlah transaksi makanan di restoran periode 1 Januari 2022 - 30 Juni 2024 oleh warga Kalinga berusia 22-30 tahun, telah mengalami penurunan hingga 9%.Â
Begitupun konsumsi kopi di kafe mengalami penurunan hingga 13%, transaksi di pusat perbelanjaan juga turut turun sekitar 3%. Tren ini kemudian makin merebak seiring dengan hadirnya #underconsumption di sosial media. Pun video penerapan gaya hidup YONO makin banyak dibagikan.
YONO (You Only Need One)
YONO adalah sebuah tren yang hadir untuk menggantikan YOLO. Berbanding terbalik dengan YOLO, gaya hidup ini lebih menekankan hidup yang lebih sederhana, fokus pada kebutuhan esensial, gaya hidup minimalis, dan berkelanjutan.Â
Penerapannya lebih mementingkan kualitas dibandingkan kuantitas, mengutamakan fungsi dan ketahanan, sadar lingkungan untuk mengurangi jejak karbon, dan cermat dalam pengeluaran.Â
Kalau YOLO menerapkan beli aja dulu, cari duit kemudian, maka YONO mengarahkan manusia untuk memanfaatkan barang yang dimiliki semaksimal mungkin dan mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan dan masyarakat.Â
Ada setidaknya tiga faktor pendorong bergesernya gaya hidup ini:
1. Kondisi ekonomi: Selaras dengan isu global ekonomi seperti inflasi dan kenaikan harga, perlu kesadaran penuh dan kontrol yang sehat dalam menggunakan penghasilan sehingga hidup lebih hemat, efisien dan terorganisir.
2. Kesadaran lingkungan: Makin seriusnya isu perubahan iklim yang membutuhkan kerjasama semua pihak untuk bisa mendapatkan perubahan positif yang membawa kebaikan bagi Bumi. Penerapan gaya hidup YONO juga sejalan dengan upaya mengatasi triple planetary crisis: perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi
3. Perubahan prioritas: Membantu kita untuk fokus pada kesehatan mental, investasi jangka panjang dan kestabilan finansial.
Dengan sejumlah perbandingan di atas, penerapan gaya hidup YONO bukan hanya menjaga finansial yang lebih hemat, tapi juga lingkungan yang lebih sehat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI