Dampak penggunaan energi fosil, dari landsekap hingga manusianya
Dalam tulisannya berjudul Sacrifice Along the Energy Continuum: A Call for Energy Justice, Diana Hernandez menuliskan bahwa meskipun penggunaan batu bara sebagai sumber energi telah menurun secara signifikan berkat upaya para aktivis lingkungan hidup.
Namun, ketergantungan akan batu bara terus mendorong hilangnya puncak gunung di wilayah Appalachian dan menimbulkan polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Afrika, Amerika dan dataran rendah.
Dampak lain dari ketergantungan ini adalah perubahan bentang alam, penurunan kesuburan tanah, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, turunnya kualitas air dan udara serta pencemaran lingkungan besar-besaran.
Tak jauh berbeda, batu bara adalah salah satu sumber energi yang hingga kini masih banyak digunakan di Indonesia. Salah satu lokasi pertambangan batu bara terletak di sepanjang Sungai Berau, di Samarinda, Kalimantan Timur.
Di tahun 2020, dilansir dari Kaltengdaily.com, Kalimantan Timur tercatat menyumbangkan 268.449 Ton atau 47,9% dari total batu bara yang diekstraksi di Indonesia serta mengekspor sekitar 212,8 Ton batu bara keluar negeri.
Ini baru di salah satu lokasi tambang saja di Indonesia. Belum di lokasi tambang lain. Kalau bicara dampak, tentu saja sederet dampak yang disampaikan oleh Diana itu tinggi potensinya terjadi di negeri kita juga.
Sebenarnya, cnbcindonesia.com mencatat, Indonesia memiliki total sumber daya dan cadangan batu bara hingga 134,24 miliar Ton yang bila digunakan sendiri dalam negeri dengan asumsi 250jt ton per tahun, maka umur cadangan batu bara negara ini bisa bertahan 500 tahun lamanya.
Tapi ternyata bukan untuk digunakan sendiri. Diekspor juga keluar negeri. Belum lagi kalau kita harus bicara dampaknya ke alam, landsekap hingga ke manusianya.
Itulah kenapa, saat ini ramai digaungkan tentang transisi energi atau transformasi sistem energi.
Mengenal transisi energi dan manfaatnya
Transisi energi adalah sebuah proses mengubah penggunaan sumber energi berbasis fosil dan tidak ramah lingkungan menjadi penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan seperti panel surya, air, panas bumi dan angin.
Energi inilah yang kemudian disebut sebagai Energi Baru Terbarukan, yaitu sumber energi yang dapat diperbaharui secara alami dan tidak akan habis.
Selain karena kesediaannya yang tak terbatas, energi ini juga dipilih karena menawarkan solusi ramah lingkungan sehingga berkontribusi dalam mengatasi pemanasan global dan mengurangi emisi karbon.
Selain itu, EBT juga akan membantu sebuah negara terhindar dari ketergantungannya pada energi fosil, mengurangi ketergantungan pada impor energi dan menawarkan potensi tinggi untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru pada warga lokal.
Tidak terdistribusi dengan merata
Meski berkelimpahan akan energi, databoks.kadatada.co.id merilis data bahwa menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masih ada sebanyak 140 desa di Indonesia yang belum dialiri listrik pada tahun 2023. Desa-desa ini diperkirakan mencakup 185.662 rumah tangga dan seluruhnya berada di Pulau Papua.
Tidak meratanya distribusi energi ini salah satunya disebabkan oleh letak geografis yang sulit dijangkau dan akses yang masih terbatas sehingga membutuhkan biaya yang tinggi dalam membangun infrastrukturnya.
Padahal, apapun alasannya, energi harus didistribusikan secara merata agar masyarakat dapat menikmati dampak baik dari sebaran energi ini untuk memaksimalkan kehidupannya.
Sebut saja belajar di bawah cahaya lampu bagi anak-anak di lingkungan 3T, menikmati berita teraktual lewat televisi hingga dapat menjalankan kendaraan bermotor saat beraktivitas atau penanganan sempurna dari pelayanan di sebuah rumah sakit di desa terpencil.
Dan kehadiran EBT dapat menjadi solusi sebagai transisi energi adil dalam persoalan pemerataan yang masih timpang dari energi fosil yang kita miliki selama ini.
OXFAM dan gerakan memerangi kesenjangan
Entah ini bisa dikatakan kabar baik atau tidak, nyatanya ketimpangan pemerataan energi tak hanya berlaku di Indonesia saja. Negara lain juga masih mengalami hal yang sama.
Dalam kondisi seperti inilah, Â Oxfam, konfederasi internasional yang terdiri dari 20 organisasi yang bekerja bersama di 90 negara kini hadir di Indonesia, sebuah organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan hak-hak mereka serta memerangi kesenjangan untuk mengakhiri kemiskinan dan ketidakadilan turut bergerak untuk mewujudkan kesenjangan yang terjadi.Â
Di seluruh wilayah, dari tingkat lokal hingga global, Oxfam bekerja sama dengan masyarakat untuk membawa perubahan yang bisa diterapkan dan bertahan lama dengan didasarkan kepada komitmen terhadap universalitas hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H