Tahun 2014, semasa kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana, Kupang, ia diminta seorang dosen dari kampus Unwira untuk menjemput korban human trafficking yang telah disekap selama 3 bulan.
Membayangkannya saja sudah terasa pilunya, disekap hingga berbulan-bulan, sementara mungkin di kejauhan, keluarga terus kecarian.
Tak heran bila Ronaldus yang langsung ditugaskan untuk menjemput mengalami kaget dan mungkin guncangan yang sama. Benar saja, di sana, ia kaget mendapati 15 orang korban yang kebanyakan adalah perempuan, kembali dalam kondisi depresi dan tidak terurus.
Bukan hanya itu, perjalanan tersebut juga membawa Ronaldus dan tim pada fakta lain yang tak kalah menyedihkan.
Di sana terdapat sejumlah anak yang tidak mendapatkan perhatian khususnya untuk akses pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Mengalami hal itu, di tahun yang sama, hatinya tergerak untuk mendirikan Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan (J-RUK) Sumba, yakni sebuah komintas bersama lintas batas yang peduli akan kemanusiaan. Dalam komunitas ini, Ronaldus mengemban tanggungjawab sebagai Koordinator.
Komunitas ini fokus pada edukasi preventif masalah human trafficking, kesehatan dan pendidikan dengan mendirikan rumah baca di Pulau Sumba - NTT.
Hingga saat ini, J-RUK telah memberikan berbagai penyuluhan mengenai pola hidup bersih dan sehat (PHBS) serta sosialisasi pencegahan human trafficking.
Tak hanya itu, sebanyak 2.889 anak mendapatkan pembekalan mengenai kebersihan dan kesehatan dan 5.307 orang dewasa sudah mendapatkan penyuluhan mengenai pencegahan praktik human trafficking. Ke depan, ia bahkan ingin mendirikan rumah singgah bagi anak-anak di NTT.
Butuh kolaborasi dari berbagai pihak
Perjalanan Ronaldus sejak tahun 2014 tak berhenti hingga saat ini. Ia tetap menjaga semangatnya hari ini dan masa depan Indonesia dengan terus menjalankan misinya dalam meratakan edukasi upaya preventif terhadap masalah human trafficking termasuk kesehatan.