Bicara tentang merantau, kurasa banyak orang yang akan sepakat kalau rasanya ahh, mantab - kata Tiktok -
Memang demikian. Senang, sedih tanggung sendiri. Saat senang sih biasanya banyak teman. Coba saja saat sedih, teman tiba-tiba hilang tanpa pemberitahuan.Â
Tapi itu lumrah terjadi. Masing-masing orang punya masalah, boro-boro berbagi masalah, urusannya sendiripun mungkin tidak bisa dibereskan. Jadi ya, menikmati sedih sendirian itu - meski rasanya sesak sekali memang - ya dilumrahin aja juga.Â
Sebetulnya ada banyak manfaat sedih sendirian itu:
1. Kamu tidak pernah terlihat lemah di hadapan orang lain
2. Tidak ada cela bagi orang lain untuk mengungkit kesedihan yang mungkin bisa jadi adalah kelemahanmu
3. Ngga bikin orang lain pusing
Tapi jangan keseringan, sedih sendirian terus-terusan juga sedikit menyeramkan, tau-tau "lewat" aja tanpa ada yang tau.Â
Ingat, secape-capenya kerja, secape-capenya berusaha, masih ada keluarga, masih ada orang tua yang cinta, masih ada saudara yang bisa diajak berbagi suka duka. Jika tidak bisa terbuka pada semua orang, setidaknya terbuka pada orang tua. Meski mungkin tidak bisa membantu apa-apa karena terbatas jarak, bercerita itu sedikit banyak mengangkat beban yang ada di hati.Â
Ngomong-ngomong tentang merantau, aku baru ngeh - kata anak muda - betapa hebatnya selama ini mamak menyuntikkan kekuatan-kekuatan yang baru kusadari menjadi bekalku berani bertarung di kota orang.Â
1. Jangan Mau Dibodohin Pekerjaan
Dulu, mamak itu suka ngedumel sendiri kalau ada kerjaan yang lagi diberesin tapi ngga beres-beres. Ngedumelnya gini nih "Ahhhh, las gabe ho do makkarejoi au!"Â terus nyari cara lain sampai akhirnya kerjaan itu bisa diselesaikan. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia kira-kira "Lho, kok jadi kerjaan ini yang ngerjain aku!"Â
Emang benar, mamak kalau udah ngomong seperti itu, ngga akan ngelakuin hal yang sama untuk beresin kerjaannya. Beliau selalu cari cara lain yang biasanya jauh lebih ampuh dari cara sebelumnya dan ya, berhasil!
Tau ngga, sampai saat ini, kalau aku sedang dihadapkan dengan satu kerjaan yang bikin aku bingung, aku mengucapkan hal yang sama. Lalu memutar otak, mencari cara agar pekerjaan tersebut selesai tanpa menggunakan cara sebelumnya.Â
Ada perasaan kesal, penasaran, tapi pingin cepat-cepat kerjaan tersebut selesai.Â
Nah, gantian. Sekarang kalimat itu juga sewaktu-waktu bisa keluar dari mulutku saat aku sudah mulai kesal dengan satu pekerjaan yang menurutku mudah tapi kok malah makan waktu yang cukup lama untuk beres. Ganti strategi, coba, selesai.Â
Eh, beneran. Kamu juga harus atau bisa cobain mantra nya mamakku ini deh. Kok jadi kerjaan ini yang ngerjain aku?! Kamu kesal, tapi pingin cepat-cepat menyelesaikan. Rasa tanggungjawabmu berangsur-angsur maksimal saat sudah mengucapkan itu.Â
2. Bukan Tidak, Hanya Saja Belum
Saat ini aku sedang mencoba beradaptasi dengan dunia yang baru kugeluti. Susah? Iya, tapi bukan tidak bisa.
Ini menjadi salah satu kekuatan juga buatku sampai saat ini.Â
Dulu aku sering bilang "Ngga bisa, Mak. Ngga bisa"Â biasanya mamak cepat-cepat revisi itu bahasa "Belum bisa, bukan ngga bisa".
Berapa ratus kali aku mengatakan tidak bisa, berapa ratus kali juga mamak revisi sampai aku terbiasa merevisi bahasaku sendiri kalau saat ini tiba-tiba bilang ngga bisa.Â
Bilang "tidak bisa" dan "belum bisa" itu tenaganya beda sekali.Â
"Tidak bisa" itu sudah disertai titik. Tidak bisa dibantu lagi. Sedangkan "Belum bisa" itu semacam kalimat yang belum lengkap. Masih koma, ada kalimat pelengkap yang harus dituliskan hingga menuju titik.Â
Kata "belum bisa" itu juga mengandung kekuatan, mengandung harapan, menyingkirkan keputusasaan. Masih ada kesempatan untuk bisa, yang penting ngga berhenti. Coba lagi, yuk. Siapa tau habis percobaan satu kali lagi ini jadi bisa.Â
3. Ngga Apa-apa Gagal, yang Penting Udah Coba
2018 lalu, aku berjibaku hampir satu tahun untuk satu tempat di BUMN. Satu langkah lagiiiii saja. Tinggal satu langkah lagi itu lulus, aku bisa kerja di sana.Â
Kukira berjuang penuh hampir satu tahun sudah cukup merayu Tuhan untuk memberiku hadiah ulang tahun yang kesekian kala itu, ternyata Tuhan bilang belum. Sama kayak mamak. Mamak juga bilang hal yang sama.Â
Aku gagal masuk ke BUMN tersebut.Â
Mamak bilang. ya sudah, yang penting kan sudah coba. Yang pentingkan sudah berusaha. Ngga apa-apa. Ngga apa-apa sambil terus dengerin aku menangis di jaringan telepon.
Kata-kata ini juga pernah diucapkan mamak saat aku kecil dan menangis meraung-raung ketika prestasiku turun satu peringkat. Padahal mamak tahu seberapa kerasnya aku berusaha. Saat aku menangis sesunggukukan karena gagal menang di lomba cerdas cermat antar kecamatan. Semester berikutnya, prestasiku kembali. Dan aku pulang dengan sumringah.
Mamak selalu bilang Ngga apa-apa. Kamu sudah berusaha.
Gila ya kata-kata itu sebegitu sederhananya, tapi punya kekuatan dari dalam yang cukup besar untuk menegakkan kembali kepala yang tertunduk lesu. Aku baik-baik saja. Aku mengampuni diriku yang gagal. Aku memaafkan diriku yang gagal sekaligus memberinya kesempatan untuk memperbaiki kembali.Â
Kata-kata itu semacam doktrin kuat yang menyemangati hati dan jiwaku kembali dari sebuah kegagalan yang kuhadapi. Tidak apa-apa, kegagalan itu bukan akhir dari perjalanan. Tidak apa-apa, kan kamu sudah berjuang. Tidak apa-apa, kamu sudah memberi yang terbaik dari dirimu, kalau masih gagal artinya ada sesuatu yang harus kamu perbaiki. Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja.
Tahu ngga, sebelum, saat bahkan hingga satu dekade aku berada di perantauan ini, mamak belum pernah menyampaikan kalimat-kalimat ini secara langsung. Mamak hanya mengulanginya, menunjukkannya di hadapanku dan membuatku menjadi kuat lewat contoh-contoh yang diberikannya selama ini.Â
Kalimat-kalimat penguat yang mengantarkanku menjadi aku, menjadi diriku yang sekarang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H