Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyusuri Museum MACAN, Menelusuri Kisah Yayoi Kusama lewat Karya

16 September 2018   10:00 Diperbarui: 16 September 2018   21:56 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love Forever karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael

Love Forever karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael
Love Forever karya Yayoi Kusama | Foto: Anastasya Nathanael
Saya mencoba untuk berlama-lama di depan lukisan Love Forever, mengabadikan diri di sana, memandangi kembali foto tersebut, saya tetap tak memahami nilai keindahan yang oleh seorang pengunjung katanya "Ini bagus banget!". Saya pikir kedua belah pihak tidak ada yang salah. Cara seseorang mengapresiasi seni memang berbeda, bukan? Tergantung seberapa besar jiwa seni yang dimiliki masing-masingnya.

Namun, di luar dari ketiga karya di atas, saya takjub dan turut melebur ketika berada di dalam infinity Mirrored Room, turut bahagia di dalam ruangan The Obliteration Room lalu meninggalkan jejak di sana berupa dots yang dibagikan panitia kepada seluruh pengunjung untuk ikut serta menutupi ruangan tersebut dan "memusnahkannya" sebagaimana tujuan awal Yayoi Kusama menghadirkan The Obliteration Room -- Menghilangkannya tanpa bekas sama sekali.

Dari hadirnya seluruh karya tersebut, ada sebuah kisah yang cukup mengharukan yang menurut saya wajib untuk diapresiasi dan diketahui oleh seluruh pengunjung agar dapat berperan serta menjaga dan merawat seluruh isi museum.

Tahun 1940, seni menjadi tempat pelarian Yayoi Kusama akibat tekanan yang dihadapinya di rumah juga di negara asalnya, Jepang. Pilihan ini juga dilakukan sebagai cara untuk mengatasi gejala halusinasi yang terus menerus ia alami sejak kecil.

Ketika ia masih kecil, Yayoi Kusama mulai melihat dunia melalui sebuah layar penuh berisi polkadot mungil yang menyelubungi apapun yang ia lihat -- dinding, langit-langit, bahkan seluruh tubuhnya.

Yayoi Kusama bercerita tentang seluruh tekanan yang dialaminya melalui seni dan bukanlah langkah yang mudah yang dilakukannya agar karya tersebut bisa kita nikmati. Itu mengapa, setiap pengunjung yang memasuki museum MACAN, diwajibkan berkontribusi untuk menjaga seluruh karya dengan langkah-langkah sederhana:

  • Selalu menyimpan tiket
  • Memasuki area pameran sesuai waku yang tertera pada tiket
  • Dilarang membawa kamera DSLR, SLR, Poraid dan tidak diperkenankan untuk menggunakan lampu kilat
  • Memotret hanya diperkenankan dengan kamera ponsel
  • Tidak diperkenankan membawa alat bantu kamera seperti tripod, monopod dan tongkat swafoto
  • Dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam pameran
  • Dilarang membawa binatang peliharaan ke lantai museum
  • Seluruh barang bawaan diperiksa di pintu masuk
  • Barang yang berukuran 24x24x15 cm harus disimpan di penitipan barang
  • Tidak diperkenankan menyentuh karya seni
  • Berbicara lembut, ponsel dalam mode senyap, dan tidak diperkenankan melakukan percakapan telepon di dalam area pameran
  • Berjalan denga tenang
  • Dilarang berlari dan memakai sepatu roda di dalam museum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun