Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Jam Berburu Foto "Instagramable" di Sekitar Pasar Klewer, Solo

4 Desember 2017   15:02 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:46 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dokpri) Si mbah dan liwetnya | Anastasye Natanael

Entah kenapa sejak awal mengenal Solo sebagai kota yang terkenal dengan tuturnya yang lembut, saya merasa seperti jatuh cinta pada tempat ini. 

Saat kuliah dulu, saya punya teman yang datang dari kota kecil nan ramah ini. Dwi Norviana namanya. Tak jarang dia berkisah tentang kerinduannya pada Solo. Tentang kelembutan saat berbicara, bahkan keayuan seorang wanita pada cara mereka berpakaian. 

Mungkin karena telah lama tinggal di Sumatera, teman saya sudah terlalu banyak terkontaminasi sikap dan bawaan orang Sumatera yang sedikit bertolak belakang dengan Solo. Kepribadiannya yang keras dan cara berbicaranyapun tak lagi sama dengan bayangan saya akan Solo.

Lambat laun, tertanam satu keinginan untuk menjajakan kaki di tempat ini. 

Mungkin bagi beberapa wanita, adalah hal yang mudah untuk menjadi wanita anggun nan gemulai namun disaat yang bersamaan dituntut juga untuk menjadi pribadi yang mandiri. 

Tidak bagi saya. Meski terlahir di Jakarta, saya tumbuh dan besar di daerah Sumatera Utara. Di mana saat berbicara biasa pun,orang-orang yang mendengar merasa bahwa saya sedang marah atau berteriak. 

Ah, saya sudah terbiasa dengan hal tersebut. Tidak ada yang aneh, justru saya akan merasa aneh saat seseorang bertanya "tumben lu kalem?"

Dalam bayangan saya, Solo adalah tempat yang tepat untuk menjadi wanita ayu, anggun dan mandiri. Namun tumbuh besar di Sumatera Utara, saya membiarkan diri saya jatuh cinta pada budaya Batak Toba yang melatih penduduknya untuk hidup keras, bertanggung jawab atas diri sendiri, namun dibaliknya penuh dengan kelemahlembutan. 

Kembali tentang Solo, meski jatuh cinta dengan keayuan wanita di sana, saya pikir saya akan menjadi penikmat seperti apa anggunnya mereka saja. Dan akan tetap membiarkan diri saya sebagaimana saya. 

Lagi-lagi, saya tak bisa pungkiri kebenaran satu kalimat yang disampaikan oleh A. Fuadi, bahwa tulisan adalah permadani terbang yang dapat membawamu kemanapun kamu mau. Maka menulislah.

Bermodal beberapa tulisan sederhana yang saya bagikan di laman Kompasiana, saya terpilih menjadi salah seorang peserta Danone Blogger Academy 2017. Selain berbagai materi untuk menambah pengetahuan seluruh peserta di bidang kesehatan dan nutrisi, kamipun berkesempatan untuk visit ke beberapa lokasi baik pabrik maupun kelompok CSR Danone. 

Sebagaimana keinginan saya sejak awal, tulisan ini pulalah yang memberikan saya peluang untuk menjajakan kaki di kota kecil yang sudah lama ingin saya kunjungi. Solo. Yahhh, tidak lama memang. Hanya dua jam sebelum kami kembali pada kehidupan sehari-hari di Jakarta. Peluang untuk menyatu dengan Solopun terwujud.

Tak hanya mendapatkan pengetahuan, kakak, orang tua, juga sahabat baru, melalui Danone Blogger Academy, saya juga berkesempatan mendapatkan fotographer pribadi yang dengan sukacita mau saya ajak sana sini untuk mewujudkan keinginan saya mengabadikan diri saat berada di jalanan Solo. 

Tak banyak yang bisa kami jajaki. Hanya seputaran pasar Klewer yang tujuan awal ke sana adalah ingin membeli buah tangan untuk keluarga di Jakarta. Sayangnya, pasar Klewer saat itu belum buka karena jarum jam baru saja menunjukkan pukul 07.00 WIB sementara menurut informasi warga sekitar, pasar baru akan beroperasi mulai pukul 09.00 WIB. 

Memanfaatkan transportasi becak, kami menuju toko batik yang menurut si abang becak sudah buka di jam tersebut. 

Memang sih, sudah buka. Hanya saja, berbelanja di tempat tersebut sama layaknya berbelanja di pasar tanah abang Jakarta. Mahal dan kudu pake jurus nawar dan jadi miss tega untuk bisa dapetin barang yang diinginkan. Sayangnya, tak semua memiliki bakat tersebut. 

Akhirnya kami memutuskan berkeliling menjelajah jalanan demi jalanan yang mirip gang di seputaran pasar klewer tersebut. 

Memang sih, untuk bisa mendapatkan spot-spot ciamik, dibutuhkan sudut pandang tajam pemburu lokasi foto. Nah, kali ini saya beruntung punya fotografer pribadi yang juga punya penglihatan tajam tersebut. Kak Anastasye!

"De.. De... Kau berdiri di sana. Gayanya begini yaa, itu cantik de tempatnya. Instagramable banget. Percaya sama kaka."

Begitu ujarnya saat bertemu dengan salah satu rumah di jalanan sempit dengan warna warni yang memang tampak menarik sambil mengajari saya harus bagaimana dalam berpose agar beliau dapat menghasilkan foto yang tak kalah cantik pula. 

Dan voila! Jadilah foto ini... Hehehe


Jika satu rumah saja sudah bikin pengunjung yang kebetulan lewat tertarik untuk sekedar berfoto di tempat ini, bisa dibayangkan kan bagaimana jika seluruh rumah menerapkan pola warna yang sama? Tentu semakin menarik dan menjadi serbuan para pengunjung. 

Dari lokasi ini, kami sedikit bergeser ke arah pasar Klewer. Dan yup! Foto lagi dong. Kapan lagi coba bisa mengabadikan foto di tempat ini? Heheh. Mumpung saat itu juga jalanan sedang sepi, kami bergantian mengabadikan foto. Dan sekarang model cantik yang berdiri di ujung zebra cross sana adalah Mba Arum. Mau tahu hasilnya? 

Tadaaa. Ini dia. Foto sederhana dengan model yang cantik juga background yang berkisah tentang kota  yang akhirnya bisa dijelajahi.


Tak jauh dari tempat bus kami terparkir, ada sebuah bangunan tua yang bernama Benteng Vastenburg Solo. Hmm.. Tentang bangunan tua ini, semakin dilihat rasanya semakin bikin penasaran ya? Dan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kembali lagi kami bergantian mengabadikan diri tepat di depan gerbang benteng tersebut. Dan kali ini, modelnya adalah Kaka Anastasye sendiri.


Menarik kan? Ya tentang foto, tentunya masing-masing individu memiliki selera yang berbeda ya. Ada yang suka jika mengabadikan diri bersama alam yang terbentang, ada yang suka difoto bersama dengan bermacam-macam fauna, ada juga yang doyan difoto saat sedang makan. Nah, kebetulan, bangunan bersejarah seperti ini adalah sesuatu yang cukup menarik untuk diabadikan bagi saya. Engga tahu kalau kamu. Heheh.

Usai hunting foto di jalanan kecil pasar klewer, kami berjalan ke arah jalanan utama yang saat itu disesaki oleh warga yang sedang berolahraga menikmati car free day. Berbeda dengan kami, kami memilih untuk berburu kuliner yang tersaji sepanjang jalan. Yang gendut engga mau gendut tapi engga bisa tahan nafsu makan. Yang kurus mah maunya ya nambah terus. Hihihi. 

Dari sekian banyak moment yang berhasil saya abadikan, ada satu moment yang menjawab apa yang selama ini ingin sekali saya temukan di Solo. Wanita dan keanggunannya. 

Seorang wanita yang tak lagi muda duduk bersila tepat di depan pintu gerbang Masjid. Merasa tertarik, saya mendekat dan bermaksud mengabadikan foto beliau dan sederetanan penganan yang tersaji di hadapannya. 

"Sarapan dulu, Nak." Begitu ujarnya lembut namun sangaat mengena. Entah bagaimana saya harus menjelaskannya. Jiwa keibuan sekaligus wanita mandiri yang tak mengandalkan orang lain untuk sekedar bertahan hidup terpancar jelas di sana. 

Serba salah. Ingin sekali rasanya duduk dan mencicipi makanan itu seraya mengobrol dengan beliau. Namun di sudut berbeda, teman-teman saya sudah semakin jauh dari pandangan mata. Saya yang buta akan daerah itu hanya bisa minta maaf dan melanjutkan perjalanan mengejar teman-teman dengan perasaan bersalah. 

Rejeki memang tidak kemana. Baru saja beliau hampir kehilangan satu calon pembeli, kali ini si mbah malah kedatangan segerombolan tamu tak diundang yang mengantri untuk mencicipi dagangannya yang ternyata adalah nasi liwet. Entah apa penyebabnya, teman-teman saya malah memutar arah dan berjalan bergerombol ke arah saya dan dagangan si mbah kala itu. Ah, rejeki memang tidak bisa ditebak ya?

Solo, dari cerita teman-teman, saya mulai jatuh cinta pada kota kecil ini. Kota kecil yang disebut-sebut penuh dengan senyum dan keramahan. Wanita anggun, ayu namun juga mandiri. Tempatnya wanita keibuan yang dapat mengandalakan dirinya sendiri untuk berkreasi dan bertahan hidup. Wanita yang entah kapan saya bisa sepertinya. 

Dan lagi, dengan tulisan (baca: permadani terbang) ini, satu dari list keinginan kembali terwujud.

Solo, terima kasih. Dengan 2 jam, saya benar-benar jatuh cinta.

Danone dan Kompasiana, terima kasih, tanpa kalian, mungkin akan berbeda cerita yang terukir. Dan dicerita ini, saya bahagia. Sukses selalu.

Salam

Efa M. Butar-butar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun