"Ohh.. oke. Saya ke sana."
"Terima kasih," kataku setelah mengambil paket itu, dan kembali naik ke ruangan setelah driver yang mengantarkan paketku keluar meninggalkan kantor.
Aku membuka paket itu setelah tiba di ruanganku, ada gambar sepasang anak SMA pada dua sampul buku yang berbeda.
"DILAAAANNNNN!" aku teriak. Buku yang sangat ingin kubaca. Sempat kucari di toko buku di beberapa mall, belum ketemu, dan kini ada tepat di depan mataku. Keduanya!
Ketepatan saat itu satu jam menuju waktu istirahat. Aku membiarkan diriku larut dalam romantisme yang sudah ramai diperbincangkan orang. Membiarkan diriku korupsi satu jam kerja untuk Dilan. Dan kemudian adalah aku bersama dengan Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990. Dia adalah Dilanku. Dilanku dalam bentuk buku.
***
Ini adalah sekelumit kisah bagaimana aku bahagia bertemu dengan "kedua Dilanku" ini. Aku seolah masih bisa merasakan bagaimana eratnya aku memeluk "Dilanku" begitu bertemu dengan keduanya. Mungkin itu karena Dilan adalah salah satu buku yang sedang kuincar dan tiba-tiba kudapatkan tanpa pernah memikirkannya sebelumnya. Kelak, aku tahu, pengirimnya adalah dia yang meminjam nama keponakanku untuk buku itu tiba di aku.
Ahhhh. Terima kasih.
Jika kamu telah membaca karya Pidi Baiq ini, tentu kamu tahu bahasa di atas adalah cara Milea Berbicara. Cara Milea menyampaikan pikiran, kebahagiaan dan kesedihannya. Cara Milea mengungkapkan rasa yang diracik oleh tangan ahli Pidi Baiq. Sederhana, ringan, romantis, manis dan asli bikin baper. Iya, aku meniru bahasa Pidi Baiq. Bahasa Milea dan Dilan. Aku meniru bahasa mereka karena larut di dalamnya.
Aku sudah memiliki "Dilanku" sejak 2 Maret 2017 lalu. Dan sudah membaca keduanya dua kali. Dan aku tidak bisa menahan dorongan yang timbul begitu kuat untuk menuliskan apa yang kurasa tentang buku ini. Dan kemudian adalah ini, ceritaku yang ikut merasakan cinta keduanya.
***