Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dilan, Romansa Cinta Sederhana yang Bikin Baper se-Nusantara

10 Agustus 2017   00:33 Diperbarui: 10 Agustus 2017   18:34 10568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Keponakan kamu yang di Priok, namanya siapa?" Sebuah pesan masuk kulihat muncul di hpku. "Aku lupa"

"Ohh... Michael," kujawab. "Kenapa?"

Dia diam. Tidak ada lagi jawaban.

Selang sejam, kali ini ada panggilan masuk di layar hpku. "Dengan siapa?"

"Mba Awan ya?"

"Iya."

"Ada paket. Novel," kata orang itu.

"Tapi saya engga ada pesan," aku bingung menanggapi.

"Ini, Mba Awan, kan?"

"Iyaa... Tapi saya engga ada pesan novel."

"Bukan Mba yang pesan. Ada yang kirim untuk Mba Awan," kelak, aku tau, beliau adalah driver salah satu aplikasi ojek online untuk mengirim paket di hari yang sama. Maksudku, orang yang menghubungiku kala itu.

"Ohh.. oke. Saya ke sana."

"Terima kasih," kataku setelah mengambil paket itu, dan kembali naik ke ruangan setelah driver yang mengantarkan paketku keluar meninggalkan kantor.

Aku membuka paket itu setelah tiba di ruanganku, ada gambar sepasang anak SMA pada dua sampul buku yang berbeda.

"DILAAAANNNNN!" aku teriak. Buku yang sangat ingin kubaca. Sempat kucari di toko buku di beberapa mall, belum ketemu, dan kini ada tepat di depan mataku. Keduanya!

Ketepatan saat itu satu jam menuju waktu istirahat. Aku membiarkan diriku larut dalam romantisme yang sudah ramai diperbincangkan orang. Membiarkan diriku korupsi satu jam kerja untuk Dilan. Dan kemudian adalah aku bersama dengan Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990. Dia adalah Dilanku. Dilanku dalam bentuk buku.

***

Ini adalah sekelumit kisah bagaimana aku bahagia bertemu dengan "kedua Dilanku" ini. Aku seolah masih bisa merasakan bagaimana eratnya aku memeluk "Dilanku" begitu bertemu dengan keduanya. Mungkin itu karena Dilan adalah salah satu buku yang sedang kuincar dan tiba-tiba kudapatkan tanpa pernah memikirkannya sebelumnya. Kelak, aku tahu, pengirimnya adalah dia yang meminjam nama keponakanku untuk buku itu tiba di aku.

Ahhhh. Terima kasih.

Jika kamu telah membaca karya Pidi Baiq ini, tentu kamu tahu bahasa di atas adalah cara Milea Berbicara. Cara Milea menyampaikan pikiran, kebahagiaan dan kesedihannya. Cara Milea mengungkapkan rasa yang diracik oleh tangan ahli Pidi Baiq. Sederhana, ringan, romantis, manis dan asli bikin baper. Iya, aku meniru bahasa Pidi Baiq. Bahasa Milea dan Dilan. Aku meniru bahasa mereka karena larut di dalamnya.

Aku sudah memiliki "Dilanku" sejak 2 Maret 2017 lalu. Dan sudah membaca keduanya dua kali. Dan aku tidak bisa menahan dorongan yang timbul begitu kuat untuk menuliskan apa yang kurasa tentang buku ini. Dan kemudian adalah ini, ceritaku yang ikut merasakan cinta keduanya.

***

Sumber foto: viva.co.id
Sumber foto: viva.co.id
Pidi Baiq.

Terima kasih sekali sebelumnya, Ayah, untuk tulisan yang benar-benar bikin baper ini. Terima kasih telah meraciknya dengan sangat manis hingga aku yakin, tak ada satupun pembacamu yang tak ikut merasakan emosi dalam cerita. Baik itu saat Dilan dan Milea saat berada dalam bahagia, pun dalam duka.

Di filmnya, saya, juga fans-fans novel Dilan yang lain, sangat berharap, sangat sangat berharap, semoga kami dipertemukan dengan tokoh asli demi menjawab pertanyaan yang muncul dalam benak kami selama ini. "Bagaimana sebenarnya rupa di balik gambar kosong di novel itu?" Aku, maksudku, kami sangat ingin melihatnya. Termasuk Bunda, Ibu dan Ayah Milea jika kondisi Beliau-beliau masih memungkinkan untuk itu.

Sumber foto: ayahpidibaiq.blogspot.co.id
Sumber foto: ayahpidibaiq.blogspot.co.id
Milea

Aku pernah remaja. Aku pernah seumuran dengan Milea. Sayang, tidak semua anak remaja seberuntung Milea, bertemu dengan Dilan... Bukan bukan... Milea bukan bertemu dengan Dilan. Milea dicari oleh Dilan. Hari sebelum Dilan menghampiri di jalan Milea untuk pertama kalinya (dan sudah tahu nama Milea) artinya Dilan sudah tau Milea. Mencari Milea untuk bisa memulai pembicaraan dan lalu diramal.

Aku pernah remaja, pernah seumuran dengan Milea. Tapi tidak dengan cerita yang manis. Aku setuju, kenangan ini terlalu manis untuk dilupakan, karena pada akhirnya, keduanya tidaklah bersama.

Sekali lagi, novel ini hanya bahasa sederhana remaja yang sedang dilanda cinta, terkesan sangat ringan namun sangat menghibur. Bagaimana keduanya berinteraksi membuat perbincangan sederhana itu menjadi sesuatu yang menarik dan berakhir dengan tawa.

Pembaca seperti ditarik kembali ke tahun 1990, seolah turut menonton peristiwa saat seorang Dilan mencoba menghampiri Lia di atas motornya yang disengaja melambat. Seperti ikut merasakan bagaimana suasana Buah batu, Bandung di tahun itu sebagaimana yang Dilan jelaskan. 

Masih ada embun di sana, bahkan saat berbicara, mulutmu pun turut mengeluarkan asap tipis saking dinginnya. Itu Bandung, kala itu. Bukan Bandung yang sekarang. Dan keduanya berulangkali mengatakan hal yang sama seolah mereka ingin bumi kembali berputar ke tahun dimana mereka bisa menikmati kisah ini bermula.

Untuk menggambarkan kecantikan seorang Milea yang menjatuhkan hati seorang panglima tempur, pembaca diajak berimajinasi, melatih benak untuk mendapatkan rupa itu dalam bentuk visualisasi.

Bagaimana bisa seorang Milea, yang masih remaja, bisa sangat bermanja kepada Bundanya Dilan. Sampai pada bukunya Milea, Suara dari Dilan, Dilan berkisah tentang suatu pagi dia mendapati Bundanya berair mata karena rindu Lia.

Itu bagaimana? Apakah karena memang kecantikan seorang Lia, atau memang Bundanya Dilan sangat menerima jikapun tadinya itu bukanlah seorang Milea yang cantik itu? Aku pikir ini perlu ditanyakan, karena kelak antara mertua dan menantu membutuhkan resep ini untuk akur.

Sumber Foto: fun-ebook.blogspot.co.i
Sumber Foto: fun-ebook.blogspot.co.i
Dilan

Meski pecinta novel Dilan dan Milea meyakini bahwa Dilan itu adalah Ayah, alias Pidi Baiq sendiri, entah kenapa aku berharap tidak. Kenapa? Karena pada saat membacanya, kamu akan dibawa pada satu visualisasi yang membentuk bahwa sosok Dilan adalah remaja yang tinggi dengan rupa yang menarik serta tubuh yang tegap. Setidaknya ini berhasil menggambarkan posisinya sebagai seorang Panglima Tempur di geng motornya.

Meski berusaha menampik bahwa Dilan bukanlah seorang Pidi Baiq, tetapi dari beberapa videonya di youtube, caranya berbahasa dan berlelucon sepertinya sangat mendekati mirip dengan sosok Dilan. Hanya saja aku sendiri merasa perlu membongkar ulang visualisasi tentang diri Dilan dari bayanganku. Hahahaha.

Kenapa perlu bahas antara Dilan dan Pidi Baiq? Karena, sebagai salah satu korban yang ikut merasakan romantisme remaja olahan Pidi Baiq ini, aku rasa ini penting untuk menjawab bagaimana sebenarnya sosok Dilan itu? Mengingat novel ini juga sedang dalam proses dibuatkan film.

Kesampingkan mengenai Dilan dan Pidi Baiq, kembali ke isi novel.

Bagaimana bisa seorang anak remaja SMA, berpikir jauh sampai mengeluarkan kata Milea, jangan bilang ada yang menyakitimu, nanti, besoknya, orang itu akan hilang! Atau Kepala sekolah nampar dia, kubakar sekolah ini, apalagi hanya seorang Anhar?! Ini diucapkan Dilan saat usai berkelahi dengan Anhar yang menampar Lia, kekasihnya.

Tak heran jika sosok Lia merasa masa mudanya sangat special. Tak heran jika Lia merasa bahwa dia diperlakukan dengan sangat manis pada saat mudanya. Tidak heran jika Lia tak ingin menepis kenangan masa mudanya dengan Dilan.

Bagaimana bisa remaja itu sepertinya memanfaatkan Bandung, memanfaatkan Buah Batu demi menyukseskan tujuannya agar Milea selalu tersenyum, selalu senang, selalu bahagia. Sepertinya dia jatuh cinta pada keduanya. Pada Buah Batu, juga Milea.

Dan hal lain yang membuat kagum adalah, Dilan sendiri memegang teguh ucapannya. Dalam buku Milea, Suara dari Dilan, Dilan menjauh dari Milea. Siapapun yang menyakitimu, nanti, besoknya, orang itu akan hilang, termasuk dirinya sendiri yang menjauh dan hilang karena merasa telah menyakiti Lia.

***

Oke, mungkin review buku ini tak semanis kisah yang tertuang di novel. Aku tidak berbakat dalam hal manis dan romantis. Dan sekarang aku mengaku kalah pada remaja tahun 1990 yang aku yakin semua pembacanya senusantara ikut sedih saat alur cerita sedih, lalu mesem-mesem saat keduanya dilanda bahagia.

Mungkin Lia dan Dilan (jika Dilan bukanlah seorang Pidi Baiq) menceritakan pada Pidi Baiq bukan dengan bahasa semanis ini. Tapi, lagi-lagi, terima kasih Pidi Baiq untuk kepiawaianmu dalam menyulapnya menjadi sesuatu yang sangat menyentuh ketika dibaca. Agak heran sih, kenapa bisa seorang Pidi Baiq yang terkesan slengekan itu melahirkan suatu karya yang begitu romantis?

Hmmm.. dont judge a book by its cover, right? Biar bagaimanapun, takjub dengan kang Pidi. Semua ulasan di atas sungguh adalah suatu penghargaan dan kekaguman atas tulisanmu, Ayah. Ini juga perlu saya sampaikan mengingat sekarang, konsumenpun dipidanakan. Eh.

Bekasi, 10 Agustus 2017

Awan Kumulus

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun