Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Resign Sebelum Mendapatkan Pekerjaan Baru? Why Not?

22 April 2017   12:18 Diperbarui: 22 April 2017   21:00 26079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi seorang pekerja, mendapatkan pekerjaan baru sejajar dengan resign dari perusahaan yang lama. Selain hati tenang karena tidak akan menyandang status pengangguran, tentu saja pekerja juga memiliki kesibukan untuk menghabiskan hari-harinya. Dan poin yang paling penting adalah bahwa mereka tetap mendapatkan gaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Menurut Linkedn, ada 30 alasan yang menyebabkan seseorang resign. Gaji yang tidak sesuai, pekerjaan yang terlalu menyita waktu, lingkungan yang kurang menyenangkan, atasan yang diktator, instruksi atasan yang labil, kurangnya kesempatan untuk mengembangkan karir, dan lain-lain. Akhirnya keputusan untuk resignpun mantap untuk dilakukan.

Lalu bagaimana jika kondisi di perusahaan Anda bekerja sudah sangat tidak memberikan kenyamanan lagi sementara Anda belum mendapatkan pekerjaan pengganti? Apakah Anda harus tetap bertahan di sana? atau memutuskan untuk resign?

Bertahan
Beberapa waktu lalu, saya merasakan hal yang sama. Dalam kasus ini, alasan saya adalah gaji yang tidak memadai, pekerjaan yang sangat menyita waktu, serta tidak adanya kesempatan untuk mengembangkan karir. Satu hal lagi, saya handle beberapa jobdesk yang memang terkadang mengharuskan saya untuk melakukan beberapa jobdesk tersebut di saat yang bersamaan karena semuanya sama-sama pekerjaan yang prioritas.

Ini yang menyebabkan kadang satu tugas tak terselesaikan dengan baik. Walaupun demikian, saya tetap berupaya untuk menyelesaikan apa yang telah menjadi tanggung jawab saya. Dannn, tentu saja saya berharap ada partner saya untuk bisa menyelesaikan tugas ini secara bersamaan.

Awal bulan November saya diiming-iming untuk mendapatkan apa yang saya minta pada atasan. Tentunya saya fokuskan mengenai gaji, dengan harapan, gaji yang memadai bisa mengobati kerja keras saya di perusahaan. Sehingga saya tidak merasa waktu saya terlalu sayang untuk saya habiskan di perusahaan tersebut. Begitupun dengan partner yang saya harap bisa membantu saya menyelesaikan tugas tersebut.

Desember berlalu dan satupun dari iming-imingi tersebut tak ada yang terealisasi sementara tugas kian kemari, kian menumpuk. Saya tunggu hingga awal Februari 2017, belum ada juga. Beberapa kali saya tanya, jawabannya sama, belum ada acc dari Dirut.

Rencana resign yang telah saya pikirkan akan saya lakukan pada bulan November 2016 tidak saya realisasikan. Saya bertahan di perusahaan tersebut dengan iming-iming yang dijanjikan atasan pada saya.

Tepat di hari Valentine, 14 Februari 2017, saya memberikan surat cinta pada atasan saya.I quit!

 

Resign
Tidak mudah memang, ketika saya memutuskan untuk keluar tanpa memiliki pekerjaan terlebih dahulu. Saya pikir, menghabiskan dua tahun di perusahaan itu membuat saya harus menikmati sedikit liburan terlebih dahulu lalu kemudian mencari pekerjaan baru. Walaupun sebenarnya, setelah surat pengunduran diri saya serahkan, saya sudah mulai apply sana sini untuk persiapan.

Saya mencantumkan untuk selesai tanggal 3 Maret 2017 dari perusahaan. Sebulan setelah surat resign saya serahkan sebagaimana prosedur yang diminta perusahaan. Lucunya, seminggu setelah surat resign saya serahkan, sudah ada dua karyawan baru yang akan mengisi posisi saya nantinya. Ini lucu banget! Hahahaha. Padahal janjinya sejak November, begitu saya mau keluar penggantinya langsung ada.

Seminggu kemudian, keduanya mulai masuk kerja. Dan tugas saya adalah memberi tahu segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab mereka. Awal Maret 2017, saya selesaikan semua tanggung jawab saya lalu serah terima seluruh dokumen dan pekerjaan pada keduanya.

Hal yang lebih lucu lagi, atasan saya terus meminta saya bertahan dengan memberinya waktu selama dua bulan LAGI untuk memperjuangkan (Catet! Bahasanya memperjuangkan!) apa yang telah dijanjikannya dulu. Sementara sebelumnya (awal bulan November) dia juga minta waktu dua bulan untuk mendapatkan 1 staff (yang seminggu setelah saya kasih surat resign langsung dapet 2 pengganti) yang akan membantu saya dan akan menaikkan gaji saya (yang tidak terealisasi hingga Februari 2017 – bahkan hingga Maret saat saya akan keluar)

Lalu pertanyaannya, apa yang dia lakukan selama dua bulan sebelumnya yang membuat iming-iming tersebut tidak terelasasi? Sementara seminggu setelah saya menyerahkan surat resign, ada dua staff baru yang diterima untuk menggantikan saya! Lalu bagaimana saya bisa percaya dengan permintaannya yang sekarang? No! Saya tetap keluar.

Conclusion
1. Bukan saya terlalu ke geeran, tapi saya tau kualitas diri saya. Kualitas diri saya tidak sepadan dengan apa yang saya dapatkan di sana. Dan saya yakin value yang saya miliki akan dicari oleh banyak orang.

2. Saya suka menulis. Saya menulis tentang apapun yang saya kuasai, yang saya ingin tau, dan yang menurut saya menarik untuk diketahui banyak orang. Entah kenapa, alasan ini juga berperan membuat kepercayaan diri saya menjadi semakin tinggi. Seseorang berkata tidak perlu takut tidak bekerja selama kamu bisa menulis. Saya belum tau alasannya, karena sejauh ini, saya belum mengeluarkan satupun karya yang fantastis untuk membiayai hidup saya semenjak menulis. Namun, seminggu setelah resign, perusahaan otomotif itu menarik saya untuk mengisi posisi content writer di sana. Terima kasih Kompasiana.

3. Saya memberikan kesempatan kepada atasan saya. Dua bulan bukan waktu yang singkat. Saya juga tidak katakan bahwa dia harus fokus untuk meyakinkan dirut agar gaji saya naik karena saya tau dia memiliki banyak pekerjaan.

Perusahaan memang membutuhkan saya. Tapi perusahaan ingin saya tetap di sana dengan gaji yang sama dan tanggung jawab yang semakin tinggi. Saat saya bertanya pada dua staff yang baru, gaji yang mereka dapatkan bahkan di bawah UMK. Tapi karena memang sangat butuh pekerjaan, akhirnya keduanya memutuskan untuk menerima.

4. Saya pernah izin sakit karena Senin sampai Jumat, kami bekerja minimal hingga pukul 20.00 WIB seharusnya 17.00 WIB, dan Sabtu yang harusnya masuk setengah hari diminta untuk pulang sore. Apa yang saya dapatkan? “Sakit mulu Lo, Bu!” Hahahahah! Sialkan?

Betul, perusahaan membayar saya. Tapi nyatanya, jika saya sakit, mereka tidak mau terima alasan itu sekalipun saya sakit karena pekerjaan saya di sana. Iya kalau saya sembuh dan bisa kembali kerja lagi? Kalau tidak? Mereka bisa hire orang lain di luar sana. Saya tidak lagi dibutuhkan.

5. Bekerja boleh, loyalitas boleh, namun harus tetap pada porsinya dan harus berjalan pada prinsip menghargai diri sendiri. Menghargai kemampuan diri dan menghargai potensi diri. Bukan yang penting kerja, badan remuk, penghasilan buat makan aja kurang, waktu untuk keluarga tidak ada, jauh dari lingkungan, jauh dari teman dan kerabat bahkan tidak memiliki waktu untuk diri sendiri. Itu bukan kerja, tapi dikerjain!

So, untuk kamu yang sangat ingin resign tapi masih ragu-ragu karena belum mendapatkan pekerjaan sementara hati dan pikiran sudah sangat tidak terima dengan apa yang kamu hadapi di perusahaan tersebut? BELIEVE! You deserve to get something bigger! Resign walau belum mendapatkan pekerjaan pengganti? Why not?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun