Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kupinta Kau Pada Tuhanku, Silahkan Pinta Aku Pada Tuhanmu

22 Februari 2017   16:09 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:27 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelah untuk menjelaskan pada orang-orang yang tidak merasakan apa yang kita rasa. Stak pada ujung “Sudahi! Kau tau kalian berbeda dan itu tidak akan pernah menyatu.”

Bagaimana jika rasa yang tumbuh dalam hati kalian disematkan kata “Sudahi?” Apa kau pernah jatuh cinta? Apa kau sungguh pernah merasakan apa yang kini tengah kurasakan? Tengah dia rasakan? Tengah kami berdua rasakan? Jika pernah, bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu?

Debur yang berembus menerobos hati perlahan berbisik, haruskah dia menjadi episode yang harus kulalui dengan akhir yang tak bahagia, lagi? Haruskah aku kembali merelakan pilihan hatiku, ketika dulu aku telah merelakan cita-citaku pada pilihan mereka?

Tarikan nafasku sendiripun terasa begitu berat. Bukankah aku yang menjalani hidupku? Lalu kenapa harus mereka yang membuat keputusan atas apa yang kuinginkan dan aku harus menurutinya? Ini sungguh tidak adil!

“Bu, ijinkan aku menikah dengan dia yang kupilih…” Kataku malam itu, malam sebelum ibuku berangkat ke wisudaan adik bungsuku.

“Tentu saja, Sayang. Siapa lelaki itu? Mengapa kau tidak pernah mengenalkannya pada Ibu?”

“David, Bu.”

Seketika tangisnya pecah. Kuat sekali. Tega sekali aku menyakiti dia yang mengenalkanku pada dunia dan Tuhanku. Aku bahkan tidak pernah membayangkan air mata itu akan terjatuh begitu pilu karena diriku. Sejahat itukah aku? Sejahat itukah cinta yang hadir dalam hidupku? Teriris, perih, sangat menyakitkan.

“Maafkan aku, Bu. Tapi dia pilihanku.” Aku mencoba menyampaikan apa yang menjadi keinginanku. Sekali saja.

“Kenapa harus dia? Kamu tahu dia bukanlah pria Batak yang sama dengan kita. Ibu tidak akan pernah membiarkanmu hidup bersama dengan orang yang tidak bertanggung jawab!”

Apa-apaan ini, Ibu? Ibu bahkan belum bertemu dengannya. Ibu bahkan belum pernah melihatnya, bahkan belum tau betapa aku terpesona dengan kebaikan hatinya. Kebaikan hati yang telah mencuri hati putrimu, Bu. Hati putrimu!”

Tangisnya masih berlanjut. Detak jantungnya seakan berkejaran dengan emosi. Tubuhnya limbung, terpuruk ke dekapan ayahku penuh air mata. “Jahat sekali engkau wahai diriku!!!!”

Ayahku hanya terpaku, ikut diam menahan praharanya. Sorot matanya semakin tajam menukik ke arahku, seakan mencoba menyampaikan pesan, Nak, mengalah lah!.

Aku semakin menangis, panic dengan kondisi Ibu yang melemah. Aku memeluknya dalam dekap berlatar belakang sayatan-sayatan yang tak tampak.

“Ibu bangun! Kumohon bangun, Bu!” Jeritku nyaring memecah hening malam yang membungkus kelam rumah hangat kami – yang dulu.

Sepertinya ini beberapa detik paling menegangkan dalam seumur-umur yang pernah kurasakan. Aku tak ingin cinta yang kurasakan pada seorang pria mengakhiri hidupnya yang juga sangat kucinta. Ibu.

“Jika ibu tidak berkenan, lupakan saja, Bu. Tidak akan ada pernikahan dengan David yang bukan pilihan Ibu.”

Tuhannn… Tuhan tidak akan menciptakan cinta diantara kami ini untuk berakhir tragis. Aku hanya meminta padaMu yang berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku, termasuk dia yang menjadi pilihan hatiku. Ibu, maafkan aku. Aku memintanya bukan padamu, tapi pada Tuhanku. Semoga hatimu bisa memahami apa yang kurasakan.”

Dalam hening malam yang memilukan, kami berpelukan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kekasihku, tak ada yang tak mampu dilakukan oleh Doa. Mintakan aku pada Allahmu. Bersujudlah hingga kau mengemis, memintalah hingga kau menangis. Pun hal yang sama akan kulakukan, memintamu pada Tuhanku. Bukankah kita harus berjuang berdua untuk cinta yang telah kita mulai ini? Dan bukankah katamu dulu bahwa Tuhan itu adalah satu? Sampai jumpa dalam doa-doa syahdu kita. Kutunggu kau dalam pelaminan bertahtakan Doamu, dan aku.”

Bekasi, 22 Feb 2017

Ditulis berdasarkan kisah nyata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun