Tangisnya masih berlanjut. Detak jantungnya seakan berkejaran dengan emosi. Tubuhnya limbung, terpuruk ke dekapan ayahku penuh air mata. “Jahat sekali engkau wahai diriku!!!!”
Ayahku hanya terpaku, ikut diam menahan praharanya. Sorot matanya semakin tajam menukik ke arahku, seakan mencoba menyampaikan pesan, Nak, mengalah lah!.
Aku semakin menangis, panic dengan kondisi Ibu yang melemah. Aku memeluknya dalam dekap berlatar belakang sayatan-sayatan yang tak tampak.
“Ibu bangun! Kumohon bangun, Bu!” Jeritku nyaring memecah hening malam yang membungkus kelam rumah hangat kami – yang dulu.
Sepertinya ini beberapa detik paling menegangkan dalam seumur-umur yang pernah kurasakan. Aku tak ingin cinta yang kurasakan pada seorang pria mengakhiri hidupnya yang juga sangat kucinta. Ibu.
“Jika ibu tidak berkenan, lupakan saja, Bu. Tidak akan ada pernikahan dengan David yang bukan pilihan Ibu.”
“Tuhannn… Tuhan tidak akan menciptakan cinta diantara kami ini untuk berakhir tragis. Aku hanya meminta padaMu yang berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku, termasuk dia yang menjadi pilihan hatiku. Ibu, maafkan aku. Aku memintanya bukan padamu, tapi pada Tuhanku. Semoga hatimu bisa memahami apa yang kurasakan.”
Dalam hening malam yang memilukan, kami berpelukan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kekasihku, tak ada yang tak mampu dilakukan oleh Doa. Mintakan aku pada Allahmu. Bersujudlah hingga kau mengemis, memintalah hingga kau menangis. Pun hal yang sama akan kulakukan, memintamu pada Tuhanku. Bukankah kita harus berjuang berdua untuk cinta yang telah kita mulai ini? Dan bukankah katamu dulu bahwa Tuhan itu adalah satu? Sampai jumpa dalam doa-doa syahdu kita. Kutunggu kau dalam pelaminan bertahtakan Doamu, dan aku.”
Bekasi, 22 Feb 2017
Ditulis berdasarkan kisah nyata