Keluarga Harmonis dan Penuh Kasih Sayang.
Pernah suatu ketika, saat marak-maraknya berita tentang korban pemerkosaan, ada seorang teman yang sudah memiliki anak berumur 5 tahun sharing pada saya, “Kemarin, gue nonton berita tentang Yuyun (remaja 14 tahun korban pemerkosaan di Bengkulu), anak gue ikutan. Tiba-tiba nanya ke gue, perkosa itu apa ya, Ma?” Merasa pertanyaan tersebut belum layak untuk dijelaskan pada anaknya, akhirnya pertanyaan tersebut ditutup dengan jawaban bahwa makna dari perkosa adalah dipukul.
Tentang pertanyaan tersebut, saya kembali teringat dengan ucapan Mama saat saya kecil dulu bahwa (maaf) dada dan kelamin anak perempuannya tidak ada yang boleh menyentuh kecuali diri sendiri dan Beliau. Ketika saya bertanya bagaimana jika Bapak saya sendiri yang memegangnya, dengan tersenyum ibu mengelus rambut saya, “Hanya kamu, dan Mama.” Dan hal ini tidak disampaikan hanya sekali dua kali saja, berulang kali setiap selesai mandi hingga kalimat tersebut melekat dalam ingatan kami. Hingga kami dewasa dan memahami makna dari semua ultimatumnya.
Atau ketika kami menggunakan pakaian dalam saja sembari berlari ke sana sini layaknya seorang anak kecil, dengan caranya, Mama saya mengingatkan bahwa menggunakan pakaian seperti itu bisa saja membuat orang lain memegang bagian yang dilarang keras oleh Beliau dan itu membuat kami tanpa berpikir dua kali segera menggunakan pakaian yang semestinya sebelum kembali ke aktivitas lari-lari ala anak kecil.
Saya belum terlalu mengerti mengapa Mama menyampaikan hal tersebut, namun saat itu juga, sebagai seorang anak yang pemikirannya masih sangat bergantung pada orang tua, saya sadar ada ultimatum keras yang disampaikan dari ucapan Mama saya melalui kalimat “Hanya kamu, dan Mama.” Sebagai seorang anak, saya sangat percaya setiap kalimat yang disampaikan oleh Mama bertujuan untuk menjaga anak-anaknya.
Alih-alih memberikan masukan dari cerita teman saya, saya memilih untuk berbagi “ultimatum” Mama saya dari kecil kepadanya. Hingga kembali muncul kemungikinan pertanyaan anak, “Bagimana jika bagian yang diarang untuk disentuh itu dipegang paksa oleh orang lain?”
“Anak Mama kan jagoan, kalau ada yang paksa mau pegang gigit aja engga apa-apa kok terus teriak yang kenceng panggil Mama, atau siapa yang kamu lihat lagi lewat.” Bahkan hingga kini, jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan semasa kecil itu masih jelas dalam ingatan saya.
Terdengar ekstrim memang untuk seorang anak perempuan namun di balik kesan ekstrim tersebut terbersit pesan untuk bertanggungjawab menjaga diri sendiri dan mempertahankan apa yang menjadi milik anak perempuannya. Mengajarkan makna malu dan menjaga diri hingga tidak membiarkan anak perempuannya berkeliaran hanya dengan menggunakan pakaian dalam.
Berdasarkan materi presentasi nangkring BKKBN Bengkulu 26 Juni 2016 yang berjudul Membangun Kualitas Kesehatan Reproduksi Dan Mental Remaja Indonesia disusun oleh Dr. Hadiwinarto, M.Psi, Dosen FKIP Universitas Bengkulu serta Ketua PHD PKBI Daerah Bengkulu, ada beberapa fungsi keluarga antara lain: fungsi biologis, fungsi pemeliharaan, fungsi keagamaan, fungsi ekonomi dam fungsi sosial.
Pada usia lima tahun pertama perkembangan seorang anak adalah periode yang sangat menentukan. Karena di usia 1 sampai 5 tahun ini dimulai pembentukan kepribadian anak Anda (Sumber: ini). Pada masa emas ini pulalah keluarga berperan sangat besar untuk menentukan bagaimana sifat seorang anak ketika dewasa nanti sesuai dengan pola hidup yang diterima dari keluarganya karena segala tingkah laku yang baru saja dikenali anak, dominan berasal dari keluarga.
Keluarga yang berjalan sesuai dengan fungsinya akan membentuk mental anak yang sehat, bertingkah laku normal, produktif, berdiri di atas norma dan berjiwa sosial. Bagaimana semua itu bisa bekerja? Keluarga yang mengajarkan anak mengenai Agama dan Tuhannya diikuti dengan keharmonisan keluarga akan tumbuh sebagai anak yang takut akan Tuhan serta penyayang.
Keluarga yang memberikan waktu untuk berkumpul bersama, bercerita tentang apa saja mengenai kegiatan yang dilakukan sehari-hari tentu saja memberikan kesempatan bagi masing-masing anak untuk berbicara, dan menyampaikan pendapat. Rutinitas ringan seperti ini yang dijaga dan dilakukan secara terus menurus secara tidak sadar akan meningkatkan rasa percaya diri anak untuk berbicara di hadapan banyak orang. Mengajarkan anak bagaimana etika berbicara dalam sebuah komunitas bahwa selama masih ada orang lain yang berbicara, maka tidak ada anak lain yang diperbolehkan angkat bicara sebelum pembicara selesai.
Keluarga juga memiliki peranan penting untuk membentuk mental produktif seorang anak. Salah satu diantara ciri mental produktif menurut Dr. Hadiwinarto, M.Psi adalah bersemangat, tidak gampang menyerah. Saya masih ingat setiap kali Papa saya kembali dari luar kota, Papa selalu mengadakan permainan ringan yang dibatasi dengan waktu, salah satunya tebak gambar dari puzzle yang sengaja dibeli bergambar kartun kesukaan si bungsu.
Kami berlomba untuk menjadi yang terlebih dahulu selesai. Tidak ada hadiah di sana, tapi bisa merayakan kemenangan melalui “tos” besar dengan Papa rasanya seperti sesuatu yang luar biasa melebihi hadiah apapun bagi seorang anak. Kami tidak berlomba untuk sebuah hadiah, kami berlomba untuk saling mendekatkan diri satu dengan yang lainnya. Bahkan terkadang, Kakak yang lebih dahulu selesai sengaja meninggalkan satu anak puzzle nya lalu membantuku atau si bungsu untuk menyusun puzzle dan membiarkan kami menang.
Hal kecil seperti ini dimulai dari keluarga, membantu, menyemangati, dan menerima kekalahan. Untuk menghindari kecemburuan, biasanya Mama akan selalu berada di pihak yang kalah dan memeluk kami satu per satu kemudian berujar “Anak Mama hebat!” sehingga tidak ada sedikitpun rasa minder yang timbul akibat kekalahan.
Mama merupakan seorang wanita yang dekat dengan anaknya. Siaga 24 jam menghadapi pertumbuhan anaknya. Saya masih ingat saat pertama sekali menstruasi, menangis sejadi-jadinya karena ketakutan dengan darah yang saya temukan. Berlari ke arah Mama lalu mengadu sesunggukan. Dengan ketenangannya, beliau tersenyum lalu menjelaskan apa yang tengah kualami. Bagaimana harus menghadapi serta membersihkannya.
Bahkan ketika pertama kali saya mulai menaruh perasaan pada seorang pria saat SMP dulu, Mama ada di sana menjadi tempat bercerita. Tidak ada sungkan dan malu, Mama menerima semuanya sebagai bentuk pertumbuhan anaknya.
Apapun yang kami alami pertama sekali, dipastikan Mama tahu dan kami akan selalu cerita pada Mama. Setiap masalah yang kami hadapi, selalu ada Beliau untuk memberikan solusi namun membiarkan kami menyelesaikannya secara pribadi. Ada namun tidak memanjakan. Saya sangat beruntung dilahirkan di tengah keluarga yang manis, penuh cinta, perhatian, bahkan mengajarkan kami arti mandiri.
Bagaimana mungkin keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian membiarkan anak mendewasa di jalan yang salah? Lalu jika kualitas kesehatan reproduksi dan mental yang sehat berasal dari keluarga yang kaya akan perhatian dan cinta kasih, masihkah tabu untuk menjelaskan tentang hal tersebut? Jelaskan sedikit demi sedikit dengan metode ringan yang bisa diterima anak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H