Keluarga yang memberikan waktu untuk berkumpul bersama, bercerita tentang apa saja mengenai kegiatan yang dilakukan sehari-hari tentu saja memberikan kesempatan bagi masing-masing anak untuk berbicara, dan menyampaikan pendapat. Rutinitas ringan seperti ini yang dijaga dan dilakukan secara terus menurus secara tidak sadar akan meningkatkan rasa percaya diri anak untuk berbicara di hadapan banyak orang. Mengajarkan anak bagaimana etika berbicara dalam sebuah komunitas bahwa selama masih ada orang lain yang berbicara, maka tidak ada anak lain yang diperbolehkan angkat bicara sebelum pembicara selesai.
Keluarga juga memiliki peranan penting untuk membentuk mental produktif seorang anak. Salah satu diantara ciri mental produktif menurut Dr. Hadiwinarto, M.Psi adalah bersemangat, tidak gampang menyerah. Saya masih ingat setiap kali Papa saya kembali dari luar kota, Papa selalu mengadakan permainan ringan yang dibatasi dengan waktu, salah satunya tebak gambar dari puzzle yang sengaja dibeli bergambar kartun kesukaan si bungsu.
Kami berlomba untuk menjadi yang terlebih dahulu selesai. Tidak ada hadiah di sana, tapi bisa merayakan kemenangan melalui “tos” besar dengan Papa rasanya seperti sesuatu yang luar biasa melebihi hadiah apapun bagi seorang anak. Kami tidak berlomba untuk sebuah hadiah, kami berlomba untuk saling mendekatkan diri satu dengan yang lainnya. Bahkan terkadang, Kakak yang lebih dahulu selesai sengaja meninggalkan satu anak puzzle nya lalu membantuku atau si bungsu untuk menyusun puzzle dan membiarkan kami menang.
Hal kecil seperti ini dimulai dari keluarga, membantu, menyemangati, dan menerima kekalahan. Untuk menghindari kecemburuan, biasanya Mama akan selalu berada di pihak yang kalah dan memeluk kami satu per satu kemudian berujar “Anak Mama hebat!” sehingga tidak ada sedikitpun rasa minder yang timbul akibat kekalahan.
Mama merupakan seorang wanita yang dekat dengan anaknya. Siaga 24 jam menghadapi pertumbuhan anaknya. Saya masih ingat saat pertama sekali menstruasi, menangis sejadi-jadinya karena ketakutan dengan darah yang saya temukan. Berlari ke arah Mama lalu mengadu sesunggukan. Dengan ketenangannya, beliau tersenyum lalu menjelaskan apa yang tengah kualami. Bagaimana harus menghadapi serta membersihkannya.
Bahkan ketika pertama kali saya mulai menaruh perasaan pada seorang pria saat SMP dulu, Mama ada di sana menjadi tempat bercerita. Tidak ada sungkan dan malu, Mama menerima semuanya sebagai bentuk pertumbuhan anaknya.
Apapun yang kami alami pertama sekali, dipastikan Mama tahu dan kami akan selalu cerita pada Mama. Setiap masalah yang kami hadapi, selalu ada Beliau untuk memberikan solusi namun membiarkan kami menyelesaikannya secara pribadi. Ada namun tidak memanjakan. Saya sangat beruntung dilahirkan di tengah keluarga yang manis, penuh cinta, perhatian, bahkan mengajarkan kami arti mandiri.
Bagaimana mungkin keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian membiarkan anak mendewasa di jalan yang salah? Lalu jika kualitas kesehatan reproduksi dan mental yang sehat berasal dari keluarga yang kaya akan perhatian dan cinta kasih, masihkah tabu untuk menjelaskan tentang hal tersebut? Jelaskan sedikit demi sedikit dengan metode ringan yang bisa diterima anak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H