Kakiku melangkah ringan setelah semua air mata yang dengan alaynya tak henti mengalir setiap kali aku membiarkan hati dan pikiranku kosong.
Aku merasakan ini untuk pertama kalinya. Pertama kalinya setelah aku mencoba menguatkan diri, mengingatkan diriku tentang segores luka yang begitu mendalam kau tancapkan hingga aku untuk pertama kalinya benar benar rapuh tak berdaya.
Terimakasih untuk tumpukan tugas yang pada awalnya membuatku muak, hingga ketika aku menikmatinya, bahkan ujung rambutmu pun tak lagi mampir dalam benakku.
Lalu petang datang dengan segala pesonanya, dia memelukku erat. Menarikku dalam sebuah kenangan. Kenangan yang kau lukis dengan begitu indahnya. Tentang bagaimana kita dulu menjadi sepasang insan yang mencoba meminta restu sang Penyemat Cinta dengan kemungkinan kamu adalah yang belahan jiwa yang tengah kucari, pun sebaliknya. Dan sederhanamu yang memesona membuatku terpuruk tak berdaya dalam bayang-bayang cinta yang akan kurajut bersamamu.
Petang menjahatiku, dia tak melepaskanku pergi begitu saja melepaskan cerita yang kembali mampir. Dia menyiksaku dengan semua kenangan manis yang hampir saja menggerogoti air mataku keluar kembali dari sumbernya. Lalu aku membuktikan tegarku dengan tak memperbolehkannya keluar bahkan setetespun.
Kau, kau yang dulu adalah alasan hadirnya semangatku, tak layak untuk setetespun air mata berhargaku. Kau tak layak untuk itu.
***
Beberapa purnama yang lalu, setiap hari aku menjadi wanita pengganti ibumu, memaksamu menyelesaikan sidangmu hingga akhirnya kita wisuda bersama. Secerewet itu, mungkin melebihi Ibumu yang sangat menyayangimu untuk melihatmu mengenakan pakaian kebesaran tiap mahasiswa akhir.
Saat itu aku tersadar, benar kata orang. "Ada wanita yang hebat di balik kesuksesan yang luar biasa dari setiap pria" Aku memberanikan diri di garda paling depan untuk melihatmu menghebat, kamu priaku. Pria yang begitu kukasihi. Walau begitu, kau tetap pengambil keputusan dari setiap rencana hebatmu, percayalah, apapun itu aku menopangmu dengan semua kemampuanku. Hatiku tak selemah yang terlihat jika berhubungan dengan masa depan pilihanmu, masa depan kita. Termasuk membiarkanmu pergi sejauh tangan tak mampu merangkul dan jarak melarangku untuk bersua.
Aku, wanitamu. Penopangmu. Penghebatmu. Kini selemah yang terlihat. Terlempar jauh entah kemana tanpa ada yang menyentuh. Membodoh dengan sendirinya tanpa sadar ada milyaran ilmu di dalam benak. Aku berantakan.
Cinta?
Begitukah kau menyebutnya? Begitkah kau menunjukkannya?
Bukankah dulu aku yang menghantarkanmu ke sana, tempat dimana setiap hari dan hatiku kuhabiskan untuk menyemangtimu tak peduli dengan jarak yang mengolok olokku hingga kau mendapat sebutan seorang manager atau apapun itu. Sungguh, kini aku tak lagi peduli.
Bukankah dulu, aku yang menjadi wanita yang menemanimu menghampiri kementerian pertanian untuk pertama kalinya untuk mencoba peruntungan karirmu?
Bukankah dulu aku yang paling heboh membuat tampilan terbaik saat kau akan sidang?
Bukankah aku wanita yang hampir tergelincir dari motor hanya untuk melepasmu menjauh untuk mimpimu? Dan menjemput dia perempuan murahmu.
Bukankah aku wanita yang kau cari dulu ketika kau dalam kebingungan yang luar biasa?
Bukankah aku wanita yang kau sebut sebut sangat sulit untuk kau taklukkan itu?
Bukankah aku wanita yang mendampingimu ketika dengan pongahnya toga itu melekat di tubuhmu?
Aku, wanitamu. Penopangmu. Penghebatmu. Kini selemah yang terlihat. Terlempar jauh entah kemana tanpa ada yang menyentuh. Membodoh dengan sendirinya tanpa sadar ada milyaran ilmu di dalam benak. Aku berantakan.
Aku tak lagi mampu berkata appun ketika sebuah pernyataan tiba di telingaku.
"Maaf, tapi aku rasa aku harus memberitahu ini karena aku juga wanita. Dia telah tidur bersama wanita yang lain. Wanita yang mungkin juga telah tidur bersama yang lain selain dirimu" Hingga kau mengakuinya.
Aku, wanitamu. Penopangmu. Penghebatmu. Kini selemah yang terlihat. Terlempar jauh entah kemana tanpa ada yang menyentuh. Membodoh dengan sendirinya tanpa sadar ada milyaran ilmu di dalam benak. Aku berantakan.
Kau yang sekian purnama menjadi kebanggaanku, tenggelamlah dengan kebodohanmu. Dan aku? Aku akan menjadi wanita yang semakin hebat tanpamu. Aku akan menjadi cerita hidup yang akan sangat kau sesali telah kau lepas demi dia yang memporakporandakan masa depanmu.
Aku, wanitamu, penghebatmu, aku akan semakin menghebat. TANPAMU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H