Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Orang Batak, Si "Sangar" Berhati "Hello Kitty"

29 Maret 2016   16:43 Diperbarui: 29 Maret 2016   17:26 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hahahaha..." Saya engga punya jawaban lain selain tertawa. Serius, saya berada di banyak sisi pada saat itu. Sisi merasa bersalah, sisi bingung kasih jawaban apa, sisi engga enak sama teman-teman saya karena tanpa sepengetahuan saya, saya sudah membuat mereka serasa di pinggir jurang setiap kali saya bicara.

Ekspresi mereka sama. Datar. Itu membuat saya sadar kalau tidak ada yang lucu dan makin merasa bersalah.

"Gininya teman-teman, intinya aku engga pernah marah kalau bicara. Kalaupun kesannya itu seperti marah dan mau ngajak perang itu cuma apa ya? Fatamorgana lah kubilang. Karena memang aku sama sekali tidak marah saat mengatakan itu. Cuma ya, mungkin karena waktu di kampung bicaranya seperti itu jadi masih kebawa-bawa. Betul, aku engga pernah marah selama di sini. Dan engga kayak gitu aku kalau marah." Begitu kira-kira penjelasan saya pada mereka dengan segala kejujuran dan pemahaman untuk mereka bisa mengerti.

"Itu kan waktu di kampung, udah bisa deh kayaknya sedikit dilembutin. Kan sekarang mahasiswi. Biar elegan gitu sedikit bicaranya, nanti kalau udah di kampung lagi, ya engga apa-apa mau kayak gitu lagi ngomongnya, tapi sebaiknya jangan. Tunjukkin kualitas mahasiswinya dongg." 

Ah, saya benar-benar bersyukur saat itu menjadi bagian dari persahabatan yang menasehati dengan cara yang super duper bersahabat tanpa ada kesan menggurui atau mengejek.

Dan hingga saat ini, walau sudah tidak seekstrim dulu, saat saya bicara di mana pun termasuk di kantor. Beberapa dari mereka yang tidak mengenal saya secara dekat selalu beranggapan bahwa saya galak dan saya sudah terbiasa dengan hal tersebut.

Betul, ketika dua orang Batak sedang berinteraksi suaranya seolah suara orang sekampung, seolah-olah sedang marah, seolah-olah paling kasar sedunia, seolah-olah jadi orang yang paling bernafsu mematikan lawan bicaranya. Tapi sebagai manusia biasa, itu hanya terjadi ketika saya merasa terjepit dan sedang dalam kondisi terancam, jika tidak ya saya bicara sewajarnya walau kesannya memunculkan seolah-olah itu semua.

Saya pernah bertemu dengan beberapa orang yang paling kental Bataknya dibanding saya. Di luar memang sangat garang, sangat garang! Bahkan sesama Batakpun takut melihatnya. Tapi ketika sedang berbicara dengan ibunya, kamu tidak akan pernah menemukan seorangpun pria yang bersikap semanis dia. Biasanya juga ini terjadi jika seudah bertemu dengan putrinya yang masih bayi, atau mungkin ketika melepas putrinya ke tanah perantauan (Ayahku salah satunya). Kalau sudah begini, segala upaya untuk menahan air mata agar tidak jatuh akan dilakukan. Serapuh itulah!.

Ketika sedang membuat sebuah karya mungkin lagu, lirik lagunya tidak jauh-jauh tentang kondisi anak diperantauan, tentang kondisi hatinya, tentang wanita idaman, tentang ibu dan semua menuju ke satu arah - romantisme dan lukisan hati yang lembut.

Sekeras wajah dan prinsip ketika berjuang, selembut hati ketika menghadapi orang-orang yang dicintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun