Mohon tunggu...
Fajar Arif Budiman
Fajar Arif Budiman Mohon Tunggu... Konsultan Politik dan Kebijakan Publik -

Konsultan Politik dan Kebijakan Publik Executive Director POLDATA INDONESIA CONSULTANT Aktivis Pemberdayaan Pemuda

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Gubernur Jabar Selanjutnya?

17 Mei 2017   18:14 Diperbarui: 27 Juli 2017   02:34 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Golkar sebagai runner up di DPRD Jawa Barat juga belum memutuskan sikap. Kendati Dedi Mulyadi sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat nampak sangat agresif mensosialisasikan dirinya, Ketua Umum Partai Golkar mengaku tidak akan gegabah dalam hal ini. Golkar masih melakukan kajian-kajian untuk dapat melakukan keputusan yang tepat. Rakerda DPD Golkar Jawa Barat pada 26 April 2017 di Karawang juga belum memberikan angin segar terkait turunnya surat rekomendasi DPP Golkar ke Dedi Mulyadi.

Golkar harus berani melakukan keputusan yang rasional. Apalagi elektabilitas Dedi Mulyadi di beberapa survei belum beranjak dari angka 10%. Keputusan yang harus dilakukan dengan bijaksana oleh Golkar bukan hanya mengenai siapa calon yang akan dimajukan, tetapi juga harus membaca konstalasi politik terkait koalisi yang akan dibangun.

Golkar yang hanya memiliki 17 kursi harus membangun koalisi dengan partai lain, ini berarti Golkar tidak akan leluasa menentukan calon wakil gubernurnya. Melihat kondisi ini, Golkar juga harus berani mempertimbangkan formula lain yang tidak populer, misalnya dengan menempatkan kader di posisi cawagub dan meminang figur dengan elektabilitas kuat di posisi cagub sembari memohon partai lain untuk koalisi demi memenuhi syarat mengajukan pasangan calon. Tentu saja Dedi Mulyadi tidak akan bersedia untuk dijadikan cawagub, maka butuh figur alternatif yang sudah mengakar kuat setidaknya di sebagian wilayah Jawa Barat. Nama Daniel Mutaqien Syafiuddin bisa menjadi pilihan untuk memantapkan posisi di wilayah timur Jawa Barat atau Rahmat Effendi yang sangat terkenal wilayah barat Jawa Barat, keduanya layak untuk didorong sebagai cawagub dari Partai Golkar dengan Ridwan Kamil atau Deddy Mizwar di posisi cagub. Formulasi seperti ini akan lebih mendekatkan Partai Golkar pada kemenangan di Jawa Barat ketimbang memaksakan Dedi Mulyadi.

Pasca Pilkada DKI Jakarta, PKS dan Gerindra semakin mesra dan percaya diri. Koalisi permanen yang digadang-gadang sepertinya akan berlaku juga di Jawa Barat. PKS dan Gerindra jika berkoalisi akan menghimpun 23 kursi di DPRD Provinsi Jawa Barat, cukup untuk mengajukan pasangan calon. Gerindra terlihat semakin dekat dengan Deddy Mizwar, namun PKS belum menentukan siapa yang akan didorong untuk mewakili PKS. Netty Heryawan, istri gubernur petahana, didorong untuk menjadi cawagub, meski PKS juga memunculkan nama Ahmad Syaikhu, Wakil Walikota Bekasi.

Demokrat belum terdengar akan memajukan nama tertentu. Iwan Sulandjana sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Jawa Barat tidak terdengar santer untuk diusung menjadi calon gubernur. Sikap ini nampaknya terlalu senyap mengingat Partai Demokrat memiliki 12 kursi di DPRD Provinsi Jawa Barat.

Serupa dengan Partai Demokrat, partai lain dengan jumlah kursi di bawah 10 nampaknya memilih untuk “wait and see”, membaca perkembangan sembari menunggu pinangan untuk berkoalisi.

Pilkada Jawa Barat tidak akan kalah seru dibandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta. Berbeda dengan di Jakarta, diskursus dan konflik terkait pilkada di Jawa Barat akan lebih parsial dengan isu yang berbeda-beda di setiap daerah. Hal ini diakibatkan oleh konfigurasi sosial yang cukup heterogen dan ditunjang oleh faktor geografis dan topografis.

Jika di Jakarta diskursus dapat difokuskan pada salah satu isu tertentu saja, di Jawa Barat hal tersebut akan agak sulit dilakukan. Perang opini di media, baik media mainstream maupun media sosial, tidak akan mampu secara efektif memobilisasi opini hingga mengkerucut menjadi isu besar yang mampu mengubah konstalasi secara signifikan. Oleh karena itu, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, benturan opini atas setiap serangan downsizing yang dilakukan oleh tim pemenangan akan terjadi secara parsial.

Isu agama, yang secara langsung maupun tidak, memporakporandakan elektabilitas Ahok-Djarot di Jakarta kemungkinan besar akan kembali digunakan di Jawa Barat. Tidak akan sepenuhnya sama karena belum diketahui ada cagub dan cawagub yang beragama bukan Islam dan keturunan Tionghoa. Diskursus lain yang mungkin akan dilakukan adalah perihal keberpihakan pada masyarakat perkotaan atau perdesaan karena dikotomi desa-kota cukup potensial untuk dielaborasi.

Sebagai salah satu provinsi lumbung suara, partai politik tidak akan melepaskan pilkada Jawa Barat begitu saja. Selain itu, apapun hasil pilkada Jawa Barat nanti akan sangat berpengaruh terhadap Pemilu 2019.

(Bandung, 18 Mei 2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun