Mohon tunggu...
Eeduy Haw
Eeduy Haw Mohon Tunggu... -

seseorang yang tinggal di makassar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tadinya Mau Diberi Judul ‘Keyakinan Romantik di Neraka,' Lalu Diganti 'Kesetiaan Jin,’ Lalu Kombinasi Dari 'Keyakinan Romantik, Kesetian Jin,' Berhubung Sesuatu dan Lain Hal, yang Persisnya Gak Tahu dan Gak Jelas Apa, Maka Batal

19 September 2011   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:49 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”
Demikian tertulis di dinding akun jejaringnya orang. Punya siapa? Seronok kalau identitasnya dibuka-buka. Di samping tentu saja kurang ajar, juga kurang kerjaan. Potensi efeknya, cuma menambah daftar panjang nama orang-orang yang dibuat jengkel. Lagipula, bukan orangnya yang penting. Kalimatnya.

“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”
Dibaca kedua kali, hmm... ya... oke. Maksud yang bijak.

“KESABARAN AKAN SELALU BERBUAH MANIS...”
Nah, baru setelah yang ketiga, setelah menerawang lebih saksama demi memenuhi rasa penasaran stadium akut, hingga lebih cocok disebut 'kemasukan' daripada 'penasaran', setelah secara tampilan lebih 'ilmuwan' ketimbang ilmuwan itu sendiri, ibarat kata menerawang adalah nongkrong 7 hari 7 malam dalam laboratorium hanya karena tak ingin kecolongan sekedipan-mata aktifitas makhluk bintik-bintik super-kecil di balik teropong lensa kaca mikroskop, sampai-sampai saking seriusnya, astagafirullah... huruf-huruf pada kalimat itu sekonyong-konyong tiba-tiba saja 'bengkak' jadi kapital semua, yang sebabnya tak tahu apa, karena itu makin dilematislah keyakinan; apakah benda berstruktur lumayan ribet bernama mikroskop ini memang benar 'alat vital' ajaib untuk 'memperbesar sesuatu'; ataukah ini semata-mata fatamorgana otak akibat reduksi endapan sisa cairan alkohol semalam; ataukah ada makhluk halus yang melintas tanpa sengaja mengakibatkan keanehan pada huruf-huruf di kalimat itu; kiranya diperlukan pertolongan langkah berfikir lebih runut, dan tentu saja pertolongan pertamanya tak lain dan tak bukan mengakhiri sekerumunan barisan kata-kata yang lebih mirip kekacauan paragraf daripada satu kalimat utuh ini dengan tanda baca: titik.


Menggumam akhirnya dalam hati, “Hmm... kayak ada yang ganjil memang kalimat ini?”

Pertanyaan ganjilnya begini, kalau setiap kesabaran selalu berbuah manis, bagaimana jika ada kesabaran yang tidak berbuah manis? Trus, semakin ia sabar tetap saja kesabaran itu gak manis-manis? Bahkan gak berbuah-buah sama sekali? Trus, bagaimana jika yang menentukan apakah kesabaran itu dibuahi atau tidak, memang sengaja memilih orang yang melakukan kesabaran itu agar gak dibuahi yang manis-manis demi membuktikan sejauh apa kesabarannya? Malahan yang pahit? Kalau perlu sekalian saja gak dibuah-buahi? Biar tambah bingung. Atau yang menentukan buah itu bilang begini, “Situ mau sabar apa kagak, ora urus, gak kenal!” Biar lebih bingung lagi.

Nah, kalau sudah begitu, apa sebenarnya kesabaran itu? Maksudnya, adakah hubungan antara sabar dengan buah? Wuaah... mulai ribet. Maksudnya, toh sabar gak bakal berbuah-buah juga, tidak sabar gak berbuah-buah juga, jadi sabar yang mana?
Apakah sabar itu harus digagahi...eh... anu...dibuahi? Apakah sabar yang tak berbuah itu bukan sabar? Bukankah buah dari kesabaran yang wujudnya tak berbuah itu adalah "buah" juga? Hanya saja dibacanya buah pakai tanda kutip? Terakhir apa hubungannya sabar dengan pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'?

Yang jelas Kesabaran itu berjodoh dengan obsesi. Keduanya sukar dipisahkan. Bersisi-mata-uang-logam-lah kurang lebih istilahnya.
Sementara, obsesi itu pada dasarnya keinginan yang belum terealisasi. Tentu, dibutuhkan usaha untuk mewujudkan.

Usaha pertama dilakukan. Hasilnya gagal, sebab tolol. Ada usaha kedua.
Usaha kedua nyaris. Nyaris bikin  frustasi. Ada usaha ketiga.
Nah, usaha ketiga replay. Siaran ulang dari usaha pertama dan kedua.

Maka selain usaha, harapan juga perlu ikut nimbrung ambil bagian. Hanya saja harapan itu konsep absurd yang lumayan tidak konkrit. Bertandemlah harapan dengan kesabaran. Tandem yang serasi. Pasangan sejoli.

"Sedikitpun, kesabaranku takkan pernah surut mengharapkanmu," kalimat yang romantis. Ini bukti kalau kedua kata ini memang jodoh. Cuma, siapa memerankan sebagai tulang rusuk kiri kurang tahu. Tapi sesungguhnya, sebaik-baik kesabaran adalah KESETIAAN."

Sempurna spekulasi teori terburu-buru ini. Bisa jadi hanya karena terinspirasi dari fenomena alam “Badai pasti berlalu. Meski pelan, awan gelap pasti beranjak. Langit bakal cerah kembali. Esok matahari akan mengintip lagi. Dan pelangi akan membentang indah di langit biru.”
Pas memang sebagai selimut hangat, pelipur lara disaat semangat nyaris membatu jadi fosil purbakala.

Dan hanya gara-gara satu sempilan kata 'KESETIAAN' itulah, dari sekian banyak pilihan kata yang menghambur di atas, yang kemudian mengingatkan satu cerita, yang entah berhubungan dengan kalimat di dinding akunnya orang itu atau tidak, atau kalaupun tidak nyambung paling tidak cerita ini bukan diinterpretasikan secara sok tahubahkan mengada-ada dari sumber sebelumnya, ataupun paling tidak cerita ini minimal menarik, pun itu gak ada yang berani menjamin, yang jelas intinya teringat saja.
*     *     *

Kala itu penciptaan manusia pertama,
Ketika ruh baru saja ditiupkan ke dalam sanubari makhluk berasalkan tanah,
Tuhan lalu menyuruh semua makhluk besimpuh sujud kehadapan Adam.

Serta merta hati Jin diliputi resah mendalam. Tak pernah sekalipun sebelumnya, hatinya sesak seperti ini. Alkisah, dengan berat hati ia mengucap kalimat:

“Sungguh, semata-mata hanya kepadaMulah aku menyembah, tak ada yang lain.” Jin mematung, tak melakukan gerak apapun.

Sujud, gerak bukan sembarang gerak.
Sembah boleh berupa apapun.
Sekuntum wangi bunga, sesajenan, tetes darah hewan sembelihan, sekarung emas berlian atau istana megah sekalipun, ihklas sanggup kita berikan.

Tetapi sujud, punya sesuatu yang lain. Sesuatu yang berikrar tentang ketundukan, kepatuhan, kecintaan mendalam, penyerahan keseluruhan, kesetiaan, bahkan meleburnya harga diri.

Ketika kepala ini rebah ke tanah, ke landasan yang bahkan lebih rendah dari telapak kaki, itulah penegasan dari bahasa tubuh paling mulia, yang melukiskan bagaimana segenap diri ini mangakui bahwa dihadapannya adalah keagungan.

Jin sangat paham akan itu.
Maka demi cinta yang teramat dalam, demi kesetiaan yang teramat suci, ia diluar dugaan terpaksa menampik perintah.
Baginya, hanya satu yang agung, hanya satu yang mulia. Cinta itu tak mendua, kesetiaan suci itu tak berbagi. Sujudku hanyalah milikMu. Tuhan.

Perintah terlanggar.
Meski hati kecilnya sedih, itu bukanlah maksud pembangkangan apalagi pemberontakan.

Setiap pelanggaran melahirkan hukuman.
Dilemparkan (diasingkan) dirinya ke tempat yang begitu mengerikan bagi siapa saja.
Begitu kitab mengisahkan.

Apalagi yang paling menyakitkan, bila kesetian seorang hamba dipisahkan dari sisi tuan yang dicintainya.
Apalagi yang paling memerihkan, bila cinta tak lagi mampu bertemu kekasih hati.
Bahkan untuk sekedar meresapi wajahnya ataukah mendengar bisik suaranya.

Apalagi yang paling mengerikan, sebuah tempat bernama Neraka.
Mengerikan.
(Sebab otak kanan kita terlanjur diajari, inilah tempat dimana isinya tak lain lidah-lidah api yang menjulur.
Lalu otak kiri kita juga diajari, bahwa Jin adalah makhluk yang diciptakan berbahan baku api).
Sungguh-sungguh mengerikan memang. Ajaran model kayak gini maksudnya.

Bayangkan bila seseorang yang mencinta teramat dalam,
terhukum perpisahan dengan kekasihnya.
Tak ada lagi perjumpaan. Wajah yang dipandang. Bisik suara. Aroma tubuh. Bahkan kabar tentangnya.
Tak akan pernah ada lagi setitik apapun denganNya.

Tapi sedikitpun, Jin tak pernah mengeluh.
Hatinya tak tergoyahkan.
Perpisahan bukan hal apa-apa.
Hanya binasa (ketiadaan), satu-satunya yang pantas merubuhkan keyakinannya.
Bahwa cinta itu tak mendua, kesetiaan suci itu tak berbagi.
Karenanya, sujudku semata-mata hanya milikMu.

Itu ia pegang sejak pertama diciptakan dan akan sampai kapanpun.

“Aku hambaMu yang lebih setia daripada dia (manusia).  Aku lebih mencintaiMu daripada dia (manusia). Aku hanya memohon satu, izinkan aku ikut ke dunia, bersamanya, demi untuk membuktikan itu.”

Dan dia, asal muasal bangsa setan, yang ternyata memilih terlemparkan dalam kobaran api bersama cinta dipersemayaman abadinya, mungkin benar adanya.
Benar bila tentang kesabaran dan kesetiaan tak ada yang sebaik dirinya.
Sebab, kita kadang bahkan sanggup melakukan sujud yang munafik.

Sama seperti kalimat "Kesabaran akan selalu berbuah manis..."
Lama-lama makin terlihat materialistis. Udang di balik batu.
Sepertinya tapi.

NB: misalnya tulisan ini gak jelas juntrungan, maka paling tidak poin yang ditawarkan 'Jin ternyata jatuh cinta pada Tuhan'.  atau mungkin 'Betapa gak penting jadi matre, gak disuka jin, bisa-bisa tiap malam minggu diapeli'.
*    *     *

Kampung Pettarani, Makassar 16 september 2011.

sumber gambar: http://anuranjanbhatia.deviantart.com/art/My-Heart-on-Fire-58522121?q=boost%3Apopular%20heart%20and%20fire&qo=16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun