Mohon tunggu...
Eeduy Haw
Eeduy Haw Mohon Tunggu... -

seseorang yang tinggal di makassar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehendak

28 Mei 2011   07:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Freud, Ego adalah mediator segitiga antara tuntutan ‘instink’ kehendak, tuntutan ‘rasio’, serta tuntutan realitas di luar kehendak. Ego-lah yang selalu rajin tawar-menawar dengan Id (kehendak). Sehingga manusia kelihatan hidup sebagai ‘makhluk rasional’.

Superego adalah internalisasi dari norma-norma sosio-kutural masyarakat. Tak usah heran, ketegangan tentu akan sering terjadi antara Superego (kehendak sosial) dengan Id (kehendak individual).

Ego-lah yang kemudian tampil sebagai jembatan atas konflik keduanya.
Ada seorang prajurit TNI yang sedang dimaki-maki kasar oleh komandannya. Maka Id– kehendak mempertahankan hidup si prajurit– refleks bereaksi, kiranya membalas hinaan tersebut.
Tetapi Ego memperingatkan, bahwa yang ada di depan adalah bos sendiri. Kiranya perlu Id ketahui, dalam sistem ke-TNI-an (Superego), melawan bos sama saja ‘cari-mati’.

Interaksi antara ketiga sub sistem inilah (Id, Ego, dan Superego) yang menjadi dasar psikoanalisa perilaku manusia. Begitu anggapan Freud.

Anggapan Schopenhauer lain lagi. Ia tetap kukuh, bahwa meski ‘kehendak naluriah’ (Id) kadangkala tunduk pada rasionalitas luar individu (Ego yang memihak Superego), tetapi itu semata-mata dilakukannya hanya untuk ‘mempertahankan kelangsungan hidup dirinya’.

Sikap patuh Id kepada Superego, tidak diartikan tunduknya ‘kehendak’ terhadap ‘rasio’. Kehendak hanya menuruti saran rasio (Ego), bila saran tersebut akan menjamin kelangsungan hidupnya sendiri (Id).
Manakala sebaliknya, saran rasio dianggap justru mengancam stabilitas hidup Id, maka kehendak (Id) akan menggugurkan petimbangan-pertimbangan rasional. Itu misalnya terlihat dalam tindakan bunuh diri atau bom bunuh diri.

Dialektika antara rasio dan kehendak lebih pada pengabdian ‘Si Pembantu’ (rasio) kepada ‘Sang Majikan’ (kehendak). Schopenhauer sendiri mengumpamakan “Kehendak adalah orang kuat yang buta, yang mengendong orang lumpuh yang melek (rasio)”.

Minus ‘kekuatan kehendak’, rasio tak ada gunanya. Rasio tak punya dua kaki untuk menjalankan skenarionya.

Jika demikian adanya, implikasi dari pemahaman ini, ketika esensi manusia bersumber pada kehendak, maka dengan senidirinya dunia manusia sebenarnya dunia penderitaan.

Ya, itu karena kehendak identik dengan keinginan. Sementara apa yang diinginkan selalu lebih besar, lebih banyak, lebih rakus ketimbang apa yang diraih. Keinginan tak pernah berhingga. Naluri manusia selalu ingin menuntut yang lebih.

Dunia manusia yang dipenuhi kehendak adalah dunia penderitaan. Sebab usaha untuk memenuhi keinginan setiap ‘kehendak’ justru kesia-siaan semata. Kehendak tak akan pernah bisa terpuaskan. Kehendak yang terpenuhi, selalu menciptakan kehendak baru yang lebih serakah. Kehendak tak mengenal kata ‘cukup’ dalam kosa katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun