Dulu Rene Descartes pernah berkata “Aku berpikir, maka aku ada.”
Kini “Aku membeli, maka aku ada,” kata Bre Redana.
Bilamana konsumerisme telah menjadi dasar eksisitensi individu. Maka, siapa yang paling berkuasa (mampu) dalam mengkonsumsi, dialah Sang Raja pemilik hak-hak ‘istimewa’ dan perlakuan-perlakuan ‘tertentu’ dalam panggung sosial bernama masyarakat.
Benar kata Barthes; manusia moderen juga produsen dan konsumen mitos. Manusia moderen juga diselimuti sederet keyakinan yang irasional, intuitif, ambiguous, atau dalam kalimat yang lebih pas ‘terlalu mengada-ada’.
Bahwa: Profesi jenderal lebih baik daripada petani. Musik jazz lebih eksekutif daripada dangdut. Orang kaya lebih bahagia daripada orang miskin. Baju kemeja lebih sopan daripada kaos oblong. Rambut lurus lebih gaya daripada rambut ikal. Menjadi orang terkenal lebih trendi daripada orang tidak terkenal. Jeans merek ini lebih modis daripada merek itu. Makan di sini lebih populer daripada makan di situ. Tinggal di kompleks ini lebih nyaman daripada di kampung itu.
Bahkan, cara meludah seperti ini lebih keren daripada cara meludah seperti itu. “Cuiih!”
* * *
Kampung Pettarani, Makassar 7 oktober 2006.
catatan : Tulisan ini hasil modifikasi ulang (makanya tanggal pembuatannya tertera begitu) dan diinspirasi dari skripsi yang berjudul Mitos Malam Minggu Remaja di Makassar (Studi Kasus Semiotika Gaya Hidup) oleh Wahyudi, mahasiswa Strata Satu Angkatan 99 Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik. Dalam uraiannya, terdapat deskripsi tentang bagaimana mitos bekerja berdasarkan pola Semiotika, Hegemoni, Konsumerisme, dan Hiper-realitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H