Lantaran itu, bukan berarti bahwa hari ini kita telah terbebaskan dari muthos. Seperti kata Mazhab Frankfurt, Barthes, dan pemikir posmoderenisme lainnya; ilmu pengetahuan (logosentrisme) dan teknologi hanya menghasilkan ilusi-ilusi dan mitos-mitos baru.
Dalam masa, ketika dimana-mana semakin banyak orang hobi menunduk asik memedulikan gadget ketimbang realitas di depan hidungnya. Masa, ketika keluh-kesah bahkan curhatan lebay sekalipun, berhamburan dipertontonkan ke seluruh dunia lewat jejaring.
Tetap saja, tegas Barthes sekali lagi, “Orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos.”
Orang-orang moderen yang dimaksud Barthes, adalah mereka yang mempercayai muthos dalam gaya hidup sehari-hari. Mereka yang berkeyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan bersemayam pada benda-benda yang dimiliki (have).
Mereka, orang-orang moderen, yakin bahwa dalam pesta malam ini, setelan Giorgio Armani yang dikenakan, memiliki kekuatan ‘eksklusif’ dibanding setelan made in Pasar Tanah Abang yang dikenakan Pak Imran di sudut sana.
Mereka yakin, bahwa liburan ke Singapura, Paris, ataukah New York, lebih keren dan mengasyikkan ketimbang mengunjungi nenek di kampung halaman.
“OMG, Manhattan padat banget… hiuuff.”
“Pusiing… pilih sale gila-gilaan di Orchad Road atau santai-santai di Pattaya…”
“Eh Menara Eiffel tinggi lho ternyata...^_^”
(Dueeeeerrrr....) begitu mungkin cuit-cuit mereka di jejaring ataukah oleh-oleh cerita ketika pulang nanti.
Ini zaman lifestyle bung...! pola penggunaan waktu, ruang, uang, barang atau apa pun itu, tidak lagi sesederhana dulu.
Kadang rambut perlu dipotong ataukah sekalian ditutup. Entah alasan karena kesehatan (cuaca panas/dingin). Ataupun karena ketentuan agama (kerudung/jilbab penutup aurat).
Manakala pilihan warna, bahan, tekstur, model, dan hiasan lain menjadi persoalan ribet dalam melakukan pertimbangan, saat itulah gaya hidup (lifestyle) sudah hadir dengan tegas.
Suatu pola penggunaan apa saja, yang nantinya bisa menciptakan pembedaan (difference) identitas seseorang dengan orang lain.
Modernisme, menganggap segala sesuatu yang digunakan manusia dalam gaya hidup sehari-hari memiliki dua aspek nilai. Selain nilai fungsi (use value), ada nilai sosio-kultural (socio-cultural value).
Si A mengendarai mobil Kijang ke kantor. Sementara Si B BMW.
Dalam konteks use value, Si A dan Si B tidak memiliki perbedaan berarti. Dua-duanya sama-sama memfungsikan mobil sebagai alat transportasi ke kantor.
Tapi cerita menjadi lain dalam konteks nilai sosio-kultural. Tingkah satpam-satpam di tempat-tempat umum sering memperlihatkan itu. Mereka tiba-tiba memperlakukan ekstra hati-hati penuh hormat terhadap BMW dibandingkan Kijang.
Seperti ada citra (imago) berbeda yang bersemayam di kedua mobil itu.
Benda tertentu, menandakan (signifikasi) citra tertentu bagi pemakainya.
Citra itulah yang diharapkan menjelaskan identitas diri (siapa) dalam interaksi sosial. Citra itu juga, yang diharapkan bisa menempatkan dirinya dalam struktur sosial ‘istimewa’. Sehingga oleh orang lain, ia pun akan diperlakukan secara ‘istimewa’.
Citra itulah muthos, yakni keyakinan akan adanya kekuatan (imago) yang bersemayam di balik benda-benda yang digunakan.
Setiap harinya, di kantor, di kampus, di mall, di pasar, di angkot, bahkan di jejaring, semua orang saling menghambur sekaligus saling memperebutkan citra-citra.
Citra hanya ada pada benda-benda.
Maka seumpama parade, kita beradu dalam perlombaan konsumerisme benda-benda yang dipercaya memiliki daya magis. Membeli benda tertentu, akan membawa diri ke level tertentu.