Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah [2]:208)
Jika melihat realita kehidupan kita hari ini, sebenarnya masih kita dapati adanya pemisahan antara urusan beragama dengan urusan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita melihat seolah-olah urusan beragama itu adalah urusan yang kita lakukan di rumah-rumah ibadah saja sedangkan hidup bermasyarakat, urusan hidup berbangsa dan bernegara adalah urusan yang lain lagi dan tidak kaitannya dengan agama. Kenyataan yang demikian membuat tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seakan hampa tanpa jiwa. Kita masih belum mengartikan bahwa membangun bangsa dan negara merupakan bagian dari bakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi kita urusan membangun bangsa dan negara ini merupakan urusan dunia semata. Agama seolah hanyalah urusan untuk mencapai keselamatan setelah kematian. Padahal haruslah agama itu menjadi sebuah jalan yang nyata untuk mencapai keselamatan di dunia ini sekarang ini dan akhirat nanti.
Adanya pemisahan yang demikian itu membuat kita dapat mengatakan bahwa belumlah kita ber-islam secara kaffah. Karena ber-islam secara kaffah adalah berarti bahwa Islam haruslah menjadi bagian dan menjadi jiwa bagi segala aspek berkehidupan kita. Secara personal, Islam harus terefleksikan tidak hanya di dalam kehidupan ritual saja melainkan juga harus terefleksikan di dalam keseharian kita. Islam harus menjiwai sikap hidup dan interaksi kita dengan sesama manusia. Dan dalam konteks kehidupan bermasyarakat; kehidupan berbangsa dan bernegara, haruslah pula ia menjadi jiwa yang mengerakan keseluruhan aspek dalam tatanan kehidupan bermasyarakat kita itu. Pemisahan kehidupan beragama dengan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sebuah tanda bahwa kita masih mendua. Seolah-olah kita hidup dengan dua jiwa di dalam satu rongga dada.
Ada sebuah surat dalam Al-Qur’an yang sangat menarik untuk dipahami dengan sebaik-baiknya agar kita dapat mengerti sesungguhnya apa esensi dari hidup beragama itu. Surat yang saya maksud tersebut adalah surat 107 [Al-Maun]. Mari kita perhatikan satu demi satu ayatnya.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?(QS. Al-Maun [107]:1)
Surat ini dibuka dengan sebuah pertanyaan yang amat serius. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?”Sudah semestinyalah pertanyaan tersebut menggerakan pikiran kita untuk menelaah dan mencari tahu siapakah yang benar-benar beragama dan siapakah yang mendustakan agama itu. Atau adakah kita sebenarnya belum memahami dengan baik akan hal ini. Sungguh tentu tidaklah bisa kita menjalankan kehidupan beragama itu secara ala kadarnya.
Tidaklah layak kita beragama hanya sekedar mengikuti saja apa katanya dan katanya. Beragama haruslah kita jalani dengan sepenuh hati dan dengan sepenuh kesadaran hati. Haruslah kita paham betul apalah itu agama, kenapa harus ada agama dan apa sebenarnya tujuan kita beragama. Ingat bahwa iman itu haruslah memiliki dasar. Keyakinan itu haruslah berdiri di atas sebuah hujjah. Berdiri di atas sebuah keterangan yang akal dan hati kita mengiyakan serta membenarkannya. Itulah kenapa sebelum berislam, kita haruslah terlebih dulu beriman. Karena kualitas iman kitalah yang akan menentukan kualitas keislaman kita itu. Iman yang seadanya; iman yang sekedar ikut-ikutan saja, hanya akan membuat kualitas beragama kita pun menjadi seadanya pula. Dan bukankah bisa jadi kita sebenarnya termasuk orang yang telah mendustakan agama tanpa kita menyadarinya?
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.(QS. Al-Maun [107]:2-3)
Inilah definisi yang Allah sampaikan kepada kita tentang siapa yang Ia anggap sebagai orang yang mendustakan agama itu. Bisa jadi mungkin kita telah membaca ayat ini puluhan atau bahkan ratusan kali banyaknya. Namun ayat ini berlalu begitu saja dari pikiran kita tanpa kita tergerak untuk memperhatikannya dengan seksama. Dan bisa jadi, saat ini, ketika kita mulai memperhatikannya dengan serius, kita menjadi terkejut dengan definisi yang Allah sampaikan tentang siapa orang yang mendustakan agama itu. Karena mungkin bisa jadi definisi tersebut diluar dugaan dan bayangan yang kita punya selama ini.
Apa yang Allah sampaikan pada ayat dua dan tiga surat Al-Maun ini mungkin juga terlihat sederhana bagi sebahagian orang. Tapi perlu kita ketahui bahwa ini bukan sebuah perkara yang main-main. Ini adalah sebuah perkara yang amat penting. Karena ketika kita memahami pesan dari ayat-ayat tersebut, kita akan dapat sampai kepada pemahaman yang sebenar-benarnya tentang esensi dari beragama itu.
Dan jika kita mau menelaah dengan sepenuh kejujuran hati, kita akan mendapati bahwa sebenarnya masih banyak dari kita yang dapat disebut sebagai orang yang mendustakan agama. Dari ayat-ayat di atas kita dapat menangkap bahwa sesungguhnya agama itu ada agar kita dapat saling memuliakan sesama anak manusia. Agar kita saling jaga, saling lindung-melindungi, saling berbagi dan saling mengasihi. Maka ketika kita mengaku beragama, tapi kita hidup dalam ketidak-pedulian terhadap sesama, berperilaku zalim kepada mereka yang lemah dan mengabaikan mereka yang miskin, sebenarnya kita termasuk dari mereka yang mendustakan agama itu.
Melihat keadaan kita hari ini, sebenarnya dapat kita katakan bahwa kita telah mendustakan agama secara berjamaah. Karena hari ini kita telah abai dan gagal membangun sebuah sistem hidup yang benar-benar dapat melindungi mereka yang lemah dan yang benar-benar dapat memelihara mereka yang miskin. Ingat bahwa beragama itu adalah bersistem. Agama harus mewujud menjadi sebuah sistem yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan umat manusia.
Sekali lagi, bahwa agama itu bukanlah hanya menyangkut urusan menyelamatkan diri setelah kematian. Tapi agama itu juga adalah alat bagi kita untuk mewujudkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan bersama di dunia. Dan agama bukan hanya untuk seorang manusia tapi untuk keseluruhan umat manusia. Maka jika kita termasuk orang menyebut diri kita sebagai orang yang beragama, sudah semestinyalah kita peduli terhadap nasib umat manusia. Sudah semestinyalah kita tergerak hati untuk ikut berupaya mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi setiap anak manusia. Sebab jika tidak, maka termasuklah kita sebagai bagian dari orang-orang yang telah mendustakan agama itu.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.(QS.107:4-7)
Adalah penting bagi kita mengerti bahwa mengabdi kepada Allah dan mengabdi untuk sesama manusia adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Sungguh ini adalah dua urusan yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Kita tidak dapat berkata bahwa kita mencintai Allah sementara di sisi yang lain kita tidak mencintai sesama anak manusia. Kita tidak dapat berharap meraih keridhaan Allah hanya melalui ibadah-ibadah ritual dan puja-puji belaka kepada-Nya tanpa menjadi bagian dari orang-orang yang berusaha mewujudkan kebajikan dan kebaikan bagi sesama anak manusia. Kita haruslah benar di kedua sisinya. Itulah berislam secara kaffah itu.
Perlu kita tahu bahwa sesungguhnya keberadaan ritual-ritual seperti shalat dan yang lainnya itu adalah untuk menempa jiwa. Ritual-ritual ada untuk menanamkan, menumbuhkan dan menjaga nilai-nilai kebaikan di dalam jiwa tiap-tiap kita. Agar kemudian dengan jiwa-jiwa yang dipenuhi nilai-nilai kebaikan itu kita dapat menjadi manusia yang memuliakan sesamanya. Sungguh urusan beragama itu tidaklah selesai hanya pada tataran menunaikan seluruh rangkaian ritual-ritual saja.
Nilai-nilai yang kita resapi dari setiap ritual yang kita jalani itu haruslah menjadi sebuah perilaku nyata dalam kehidupan kita. Karenanya menjadi sebuah hal yang mengherankan sebenarnya jika kita mendapati orang yang begitu rajin beribadah tapi perilakunya dalam kehidupan tidak tidaklah mencerminkan nilai yang bertebaran di dalam setiap ritus ibadahnya itu. Orang-orang yang demikian itulah sebenarnya orang-orang yang belum memahami maksud adanya ritual ibadah itu. Mereka hanya berpikir dan berharap bahwa melalui shalatnya itu ia akan terhindar dari neraka atau akan mendapatkan surga. Ingatlah bahwa Allah itu tidaklah haus akan puja dan puji manusia. Tidak akan bertambah kebesaran dan kemuliaan Allah karena kita memuji dan memuja-Nya. Allah meminta kita menghormati-Nya; memuji dan memuja-Nya agar denganya kita memiliki jiwa yang ingat akan keharusannya memuliakan sesama anak manusia.
Maka kecelakaanlah orang-orang yang telah lalai dari shalatnya itu. Orang-orang yang tidak mengenal jiwa shalat dan tidak membawanya dalam perilaku berkehidupan. Orang-orang yang shalatnya hanya sebatas memenuhi kewajiban saja; yang hanya sebatas mencari pahala saja; yang hanya sebatas untuk menghidari neraka dan menginginkan surga saja. Dan kecelakaanlah juga orang-orang yang berbuat riya. Orang-orang yang hidup hanya mencari puja-puji dan penghargaan dari manusia; yang senang menampilkan dirinya sebagai orang suci dan mulia; yang beragama hanya sebatas kulit saja dan tidak berjiwa; yang merasa telah memuaskan Allah dengan segala puja dan puji yang dilakukannya. Sungguh tidaklah mereka yang demikian itu telah benar-benar telah beragama.
Bahkan mereka itulah yang disebut orang-orang yang telah mendustakan agama. Mereka yang enggan untuk menolong dengan sesuatu yang berguna. Mereka yang enggan melakukan upaya untuk membela hak dan kesejahteraan sesama manusia. Mereka yang enggan untuk turut serta memperjuangkan dan membangun sebuah sistem berkehidupan yang dapat membawa anak-anak manusia hidup selamat, damai dan sejahtera.
Kini hendaklah kita memikirkan bersama bagaimana membawa nilai-nilai luhur agama menjadi sebuah realita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hendaklah kita menterjemahkan kembali Islam agar menjadi sebuah tatanan yang nyata dalam kehidupan kita. Agar menjadi sebuah realita yang dapat dinikmati oleh setiap anak manusia. Agar menjadi rahmat dan berkah bagi semesta. Dan agar Allah benar-benar hadir sebagai Tuhanya manusia. Yang memuliakan mereka yang yatim dan yang mensejahterakan mereka yang miskin. Namun semua itu haruslah terjadi dan dilakukan dalam sepenuhnya memperhatikan realita zaman. Realita keadaan bangsa yang amat beragam dan majemuk ini. Agar tidaklah kita kemudian memaksakan Al-Qur’an menjadi satu-satunya dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tidaklah kita kemudian memaksa negeri ini menjadi negara agama. Tidaklah di sana esensinya. Esensi dari semua ini adalah kita harus benar-benar menjadi sebuah bangsa yang berdiri tegak di atas hikmah kebijaksanaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.
“Dan di dalam wadah itu kita tuangkan suatu masyarakat yang tiap-tiap masyarakat Indonesia merasa bahagia. Suatu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak dapat memberi air susu pada anaknya. Suatu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas. Suatu masyarakat yang benar-benar membuat bangsa Indonesia ini, suatu bangsa yang terdiri daripada ratusan juta insan Al Kamil yang hidup dengan bahagia di bawah kolong langit buatan Allah SWT."(Bung Karno)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H