Mohon tunggu...
Edy Suryadi
Edy Suryadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Inner Life is The Real Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beragama dalam Totalitas Berkehidupan

29 November 2016   09:38 Diperbarui: 29 November 2016   09:54 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melihat keadaan kita hari ini, sebenarnya dapat kita katakan bahwa kita telah mendustakan agama secara berjamaah. Karena hari ini kita telah abai dan gagal membangun sebuah sistem hidup yang benar-benar dapat melindungi mereka yang lemah dan yang benar-benar dapat memelihara mereka yang miskin. Ingat bahwa beragama itu adalah bersistem. Agama harus mewujud menjadi sebuah sistem yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan umat manusia. 

Sekali lagi, bahwa agama itu bukanlah hanya menyangkut urusan menyelamatkan diri setelah kematian. Tapi agama itu juga adalah alat bagi kita untuk mewujudkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan bersama di dunia. Dan agama bukan hanya untuk seorang manusia tapi untuk keseluruhan umat manusia. Maka jika kita termasuk orang menyebut diri kita sebagai orang yang beragama, sudah semestinyalah kita peduli terhadap nasib umat manusia. Sudah semestinyalah kita tergerak hati untuk ikut berupaya mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi setiap anak manusia. Sebab jika tidak, maka termasuklah kita sebagai bagian dari orang-orang yang telah mendustakan agama itu.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.(QS.107:4-7)

Adalah penting bagi kita mengerti bahwa mengabdi kepada Allah dan mengabdi untuk sesama manusia adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Sungguh ini adalah dua urusan yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Kita tidak dapat berkata bahwa kita mencintai Allah sementara di sisi yang lain kita tidak mencintai sesama anak manusia. Kita tidak dapat berharap meraih keridhaan Allah hanya melalui ibadah-ibadah ritual dan puja-puji belaka kepada-Nya tanpa menjadi bagian dari orang-orang yang berusaha mewujudkan kebajikan dan kebaikan bagi sesama anak manusia. Kita haruslah benar di kedua sisinya. Itulah berislam secara kaffah itu.

Perlu kita tahu bahwa sesungguhnya keberadaan ritual-ritual seperti shalat dan yang lainnya itu adalah untuk menempa jiwa. Ritual-ritual ada untuk menanamkan, menumbuhkan dan menjaga nilai-nilai kebaikan di dalam jiwa tiap-tiap kita. Agar kemudian dengan jiwa-jiwa yang dipenuhi nilai-nilai kebaikan itu kita dapat menjadi manusia yang memuliakan sesamanya. Sungguh urusan beragama itu tidaklah selesai hanya pada tataran menunaikan seluruh rangkaian ritual-ritual saja. 

Nilai-nilai yang kita resapi dari setiap ritual yang kita jalani itu haruslah menjadi sebuah perilaku nyata dalam kehidupan kita. Karenanya menjadi sebuah hal yang mengherankan sebenarnya jika kita mendapati orang yang begitu rajin beribadah tapi perilakunya dalam kehidupan tidak tidaklah mencerminkan nilai yang bertebaran di dalam setiap ritus ibadahnya itu. Orang-orang yang demikian itulah sebenarnya orang-orang yang belum memahami maksud adanya ritual ibadah itu. Mereka hanya berpikir dan berharap bahwa melalui shalatnya itu ia akan terhindar dari neraka atau akan mendapatkan surga. Ingatlah bahwa Allah itu tidaklah haus akan puja dan puji manusia. Tidak akan bertambah kebesaran dan kemuliaan Allah karena kita memuji dan memuja-Nya. Allah meminta kita menghormati-Nya; memuji dan memuja-Nya agar denganya kita memiliki jiwa yang ingat akan keharusannya memuliakan sesama anak manusia.

Maka kecelakaanlah orang-orang yang telah lalai dari shalatnya itu. Orang-orang yang tidak mengenal jiwa shalat dan tidak membawanya dalam perilaku berkehidupan. Orang-orang yang shalatnya hanya sebatas memenuhi kewajiban saja; yang hanya sebatas mencari pahala saja; yang hanya sebatas untuk menghidari neraka dan menginginkan surga saja. Dan kecelakaanlah juga orang-orang yang berbuat riya. Orang-orang yang hidup hanya mencari puja-puji dan penghargaan dari manusia; yang senang menampilkan dirinya sebagai orang suci dan mulia; yang beragama hanya sebatas kulit saja dan tidak berjiwa; yang merasa telah memuaskan Allah dengan segala puja dan puji yang dilakukannya. Sungguh tidaklah mereka yang demikian itu telah benar-benar telah beragama. 

Bahkan mereka itulah yang disebut orang-orang yang telah mendustakan agama. Mereka yang enggan untuk menolong dengan sesuatu yang berguna. Mereka yang enggan melakukan upaya untuk membela hak dan kesejahteraan sesama manusia. Mereka yang enggan untuk turut serta memperjuangkan dan membangun sebuah sistem berkehidupan yang dapat membawa anak-anak manusia hidup selamat, damai dan sejahtera.

Kini hendaklah kita memikirkan bersama bagaimana membawa nilai-nilai luhur agama menjadi sebuah realita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hendaklah kita menterjemahkan kembali Islam agar menjadi sebuah tatanan yang nyata dalam kehidupan kita. Agar menjadi sebuah realita yang dapat dinikmati oleh setiap anak manusia. Agar menjadi rahmat dan berkah bagi semesta. Dan agar Allah benar-benar hadir sebagai Tuhanya manusia. Yang memuliakan mereka yang yatim dan yang mensejahterakan mereka yang miskin. Namun semua itu haruslah terjadi dan dilakukan dalam sepenuhnya memperhatikan realita zaman. Realita keadaan bangsa yang amat beragam dan majemuk ini. Agar tidaklah kita kemudian memaksakan Al-Qur’an menjadi satu-satunya dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tidaklah kita kemudian memaksa negeri ini menjadi negara agama. Tidaklah di sana esensinya. Esensi dari semua ini adalah kita harus benar-benar menjadi sebuah bangsa yang berdiri tegak di atas hikmah kebijaksanaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.

“Dan di dalam wadah itu kita tuangkan suatu masyarakat yang tiap-tiap masyarakat Indonesia merasa bahagia. Suatu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak dapat memberi air susu pada anaknya. Suatu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas. Suatu masyarakat yang benar-benar membuat bangsa Indonesia ini, suatu bangsa yang terdiri daripada ratusan juta insan Al Kamil yang hidup dengan bahagia di bawah kolong langit buatan Allah SWT."(Bung Karno)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun