Dari apa-apa yang telah dijelaskan di atas, maka menjadi pentinglah bagi kita untuk membersihkan dan menghidupkan kalbu dengan sebaik-baiknya. Sebab sebagaimana realita yang kita saksikan bersama dalam kehidupan kita hari ini, masihlah kita banyak mendapati bagaimana Al-Qur’an telah ditafsirkan secara keliru dan meyimpang. Tidak sedikit kita menyaksikan kelompok-kelompok yang mengaku berdiri dan berpijak di atas Al-Qur’an; di atas firman-firman Allah itu, tapi hadir menjadi kelompok yang benar-benar tidak merefleksikan sejatinya ajaran Allah yang Maha Penyayang itu.
Dimanakah sesungguhnya letak salahnya dari mereka yang mengaku berpegang kepada Al-Qur’an itu, tapi tampil dengan wajah yang begitu arogan, menghalalkan pembantaian, membolehkan kekerasan dan perilaku-perilaku yang jauh dari kasih sayang? Tentu saja letak masalahnya bukanlah pada Al-Qur’an melainkan karena mereka tidak menggunakan kalbu mereka untuk mengenali dan mengerti kebenaran yang disampaikan oleh kitab suci. Mereka tidak terkoneksi dengan baik kepada kebenaran dalam kalbu yang mereka punya.
Ada gap yang mengahalangi mereka untuk dapat menjangkau dan menyentuh kebenaran dari ayat-ayat dalam kitab tersebut. Karena apa yang didapat dari masing-masing orang ketika ia membaca Al-Qur’an memang bisa berbeda-beda bergantung pada kesucian niat dan kondisi batin mereka ketika membacanya. Kerenanyalah kenapa kita disunahkan secara syariat untuk berwudlu terlebih dulu dan memohon perlindungan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk ketika hendak membaca Al-Qur’an. Maka jika benar para teroris itu berpegang pada Al-Qur’an, pastilah karena hati mereka yang masih diliputi kebencian dan masih dipenuhi kekerasan itu yang membuat mereka seolah-olah melihat ajaran kebencian dan kekerasan itu di dalam Al-Qur’an. Mereka tidak mendatangi Al-Qur’an dengan hati yang bersih. Coba kita perhatikan ayat berikut ini:
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.(QS. Al-Waaqiah [56]:77-79)
Dari ayat tersebut kita menjadi mengerti bahwa betapa begitu pentingnya memiliki kesucian hati untuk dapat terakses dengan kebenaran yang ada di dalam Al-Qur’an. Dapat kita katakan bahwa hati yang kita punyai itu mempunyai fungsi yang mirip dengan panca indra kita. Sama seperti mata yang jika tidak sehat ia, maka kemampuan kita untuk mengenali warna dan rupa pasti akan terganggu. Demikian juga dengan telinga, hidung, lidah dan syaraf-syaraf kulit kita. Kalbu pun serupa dengan itu. Jika hanya dengan lidah sajalah kita bisa mengenali rasa dan tidak bisa dengan indra yang lain, demikian juga halnya dengan hati. Hanya dengan menggukanan hati saja kita dapat mengenali kebenaran. Maka jika hati terganggu karena kotor atau diliputi nafsu, tentulah kemampuan kita untuk dapat menyentuh kebenaran di dalam Al-Qur’an pun menjadi bermasalah.
Melalui ayat di atas, kita juga menjadi mengerti bahwa sesungguhnya urusan kita tidaklah selesai hanya dengan adanya Al-Qur’an bersama kita. Kita telah menyaksikan bagaimana umat-umat yang lalu, para pewaris kitab di masa sebelum kita ini telah menjadi orang-orang yang durhaka kepada Tuhannya padahal mereka membaca kitab-kitab mereka. Padahal kitab-kitab mereka itupun Allah sebut sebagai kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Jadi hal utamanya bukanlah terletak pada kita punya kitab atau tidak, melainkan bagaimana kita menggunakan kalbu yang telah Allah berikan kepada kita ini. Kitab suci memanglah memuat begitu banyak kebenaran, akan tetapi kita tidak akan pernah dapat menyentuhnya kecuali dengan kesucian hati. Dan tentu hadirnya kitab suci itu bukan untuk memenjarakan kalbu melaikan hadir justru untuk memerdekakan kalbu kita itu. Karena sesungguhnya di sanalah tersimpan kebenaran itu. Di sanalah Tuhan letakan neraca itu. Tentu tidaklah ingin kita disebut oleh Allah seperti keledai yang hanya memikul kitab tapi tidaklah hidup menurut apa yang diajarkan oleh kitab, sebagaimana Allah pernah sebut umat yang lalu seperti demikian itu.
Di sepanjang sejarah peradaban umat manusia ini kita telah banyak menyaksikan bagaimana agama, bagaimana kitab suci, bagaimana nama Allah telah digunakan oleh sekelompok orang hanya sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kekuasaan. Berapa banyaknya sudah perang yang terjadi atas nama agama, atas nama kitab suci dan atas nama Tuhan. Menjadi percumalah sebenarnya kitab suci yang kita warisi itu jika kita tetap mengedepankan nafsu ketimbang hati. Menjadi percumalah kitab suci jika keberadaannya membuat kita berhenti memahami ayat-ayat Allah yang bertebaran di langit dan di bumi. Jika membuat kita berhenti mengenali hikmat dari apa-apa yang telah Allah ciptakan ini.
Bukankah telah Allah nyatakan bahwa tidaklah akan pernah habis ilmu Allah dituliskan sekalipun seluruh lauatan dijadikan tinta dan didatangkan lagi sebanyak itu, lagi dan lagi? Bukankah telah Allah nyatakan pula bahwa kemanapun kamu hadapakan wajahmu di situlah kamu akan lihat wajah Allah? Sungguh ayat-ayat Allah itu tidaklah hanya sebatas 30 juz ayat-ayat dalam kitab suci yang kita punya itu saja.
Karena setiap ciptaan, setiap kejadian dan setiap cerita adalah juga ayat-ayat-Nya. Maka bacalah dalam nama Allah yang menciptakan semua itu dan yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam itu. Dan janganlah menjadi orang yang terpenjara oleh agama dan janganlah juga menjadi orang yang terkekang oleh dalil-dalil. Janganlah menjadi orang yang mengikuti saja semua katanya-katanya tanpa betul-betul mencerna dan memahami dengan sebaik-baiknya menggunakan kalbu.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”(QS. Al-Hajj [22]:46)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H