Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.(QS. Ar-Rahman [55]:7-9)
Ada hukum Allah yang tetap atas semesta alam ini. Telah Allah letakan neraca yang tidak boleh dan tidak bisa dicurangi atas kehidupan ini. Sungguh sebenarnya tidak ada satu mahlukpun yang dapat mencurangi Allah. Karena setiap perbuatan pastilah akan terhakimi dalam neraca keadilan-Nya. Dialah Allah hakim yang sebenar-benarnya itu. Dan kenyataan yang demikian ini membuat kepatuhan kepada ketentuan Allah menjadi adalah satu-satunya pilihan yang ada. Kerena itulah kenapa agama Allah itu disebut sebagai agama perserahan diri. Itulah agama Islam itu. Sebuah jalan hidup yang lahir dalam kesadaran bahwa keselamatan hanya dapat ditemukan dalam kepatuhan total kepada neraca-Nya itu. Kepada ketentuan dan ukuran yang telah ditetapkan-Nya atas kehidupan ini.
Dan berkenaan dengan neraca yang telah Allah letakan dalam penciptaan alam semesta ini, dapatlah kita katakan bahwa satu-satu mahluk yang berpotensi bermasalah dengan ini adalah manusia. Karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat bergeser dari neraca ini. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat keluar dari fitrah penciptaannya. Tidak demikian halnya dengan tumbuh-tumbuhan. Ia hanya dapat menjadi dirinya sebagaimana adanya. Selamanya ia akan tetap demikian adanya dan tidak akan pernah bergeser dari fitrahnya. Hewanpun demikian. Ia hanya dapat menjadi dirinya sebagaimana adanya. Selamanya ia akan tetap demikian adanya dan tidak akan pernah bergeser dari fitrahnya.
Demikian pula dengan malaikat. Ia pun hanya dapat menjadi dirinya sebagaimana adanya. Selamanya ia akan demikian adanya dan tidak akan pernah bergeser dari fitrahnya. Bahkan syaitan pun, ia hanya dapat menjadi dirinya sebagaimana adanya. Selamanya ia kan tetap demikian adanya dan tidak akan pernah bergeser dari fitrahnya. Mereka semua itu adalah mahluk yang berkeinginan tunggal. Mahluk yang tidak mempunyai pilihan selain dari menjadi dirinya sendiri. Malaikat hanya bisa baik dan tidak akan pernah bisa jahat. Tidak ada dorongan kejahatan dalam diri malaikat. Kejahatan adalah hal yang sama sekali tidak menarik bagi malaikat. Syaitan hanya bisa jahat dan tidak akan pernah bisa baik. Tidak ada dorongan kebaikan dalam diri syaitan. Kebaikan adalah hal yang sama sekali tidak menarik bagi syaitan. Seluruh ciptaan Allah selain dari manusia, mereka itu tidak akan pernah bergeser menjadi yang lain selain menjadi dirinya.
[Memang dari keterangan yang ada kita mengidentifikasi bahwa jin juga adalah mahluk yang mempunyai masalah yang serupa dengan manusia. Namun karena keterbatasan pemahaman yang kita punya tentang jin dan bagaimana kehidupannya itu, maka dalam penjelasan ini hal itu saya abaikan.]
Manusia adalah mahluk yang sungguh berbeda dari mahluk lainnya. Manusia adalah mahluk yang mendua. Manusia adalah mahluk yang berdiri diantara dua tarikan kutub yang berbeda. Manusia adalah mahluk yang di dalam dirinya terdapat dorongan kebaikan dan kejahatan. Manusia adalah mahluk yang memiliki kebebasan untuk memilih menjadi ini atau menjadi itu. Dan meski kebebasan memilih yang kita punya itu adalah sebuah karunia yang Allah berikan untuk manusia, namun di sisi yang lain hal itu juga dapat menjadi sebuah kutukan bagi manusia jika salah mensikapinya. Karena dengan kebebasan memilih yang manusia punya itu, manusia dapat menjadi sebaik-baiknya mahluk dan manusiapun dapat menjadi seburuk-buruknya mahluk.
Manusia dapat menjadi seperti malaikat yang penuh dengan kebaikan dan manusia juga dapat menjadi seperti iblis yang penuh dengan kejahatan. Akan tetapi, tentu tidaklah ada yang Allah menghendaki selain dari kebaikan. Di dalam keadaan diri yang berada diantara tarikan kejahatan dan kebaikan itulah manusia harus dapat kokoh berdiri di atas kebaikan. Manusia harus teguh tunduk dan patuh berserah diri kepada ketentuan Allah atas penciptaan ini. Manusia harus menghormati neraca yang telah Allah tetapkan atas kehidupan ini. Dan karena itulah manusia menjadi satu-satunya mahluk yang membutuhkan agama. Menjadi satu-satunya mahluk yang membutuhkan kitab suci.
Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat.(QS. Asy-Syuura [42]:17)
Kehadiran kitab suci adalah agar dengannya manusia dapat mengenali kebenaran. Agar dengannya manusia mengenali kemanusiaannya. Agar dengannya manusia dapat mengenali fitrah penciptaannya. Agar dengannya manusia dapat mengenali neraca yang telah Allah letakan atas kehidupan ini. Karena itulah Allah berikan kepada manusia kecerdasan akal dan Allah berikan kepada manusia kalbu. Supaya dengan itu manusia dapat mengenali dan memahami tanda-tanda Allah. Dan sesungguhnya di dalam diri setiap manusia itu telah Allah tiupkan ruh kebenaran padanya. Ruh kebenaran itu tersimpan di dalam kalbu tiap-tiap manusia. Ada banyak istilah yang kita punya tentang itu. Ada yang menyebutnya dengan nurani, God spot, atman, divine matrix, super ego dan lain-lain. Namun dari pada itu, terlepas dari apa istilah yang paling tepat untuknya itu, satu yang pasti kita sepakat adalah bahwa suara kebenaran itu ada di dalam diri setiap kita.
Suara kebenaran yang tersimpan dalam kalbu kita inilah yang membuat kita mampu mengenali kebenaran yang disuarakan oleh para nabi dan kitab suci. Karena kebenaran itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing bagi manusia. Kitab suci datang tidak membawa sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal dan kalbu manusia. Kitab suci datang membawa ajaran dan nilai-nilai yang sudah dikenal oleh kalbu manusia. Sebab jika tidak, bagaimanalah mungkin kita dapat mengangguk membenarkannya.
Dari manakah datangnya anggukan itu jika bukan karena kebenaran akan hal itu memanglah telah Allah tanam di dalam kalbu kita. Maka Maha Benar Allah atas firman-Nya yang menyatakan bahwa: Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ankabut [29]:49). Bagi orang-orang yang diberi ilmu tentu tahu betapa nyata kebenaran itu di dalam dada mereka. Betapa serupa kebenaran yang ada di dalam di dalam Al-Qur’an itu dengan kebenaran yang ada di dalam dada manusia. Betapa Al-Qur’an dan kalbu sesungguhnya mempunyai satu suara kebenaran yang sama.
Dari apa-apa yang telah dijelaskan di atas, maka menjadi pentinglah bagi kita untuk membersihkan dan menghidupkan kalbu dengan sebaik-baiknya. Sebab sebagaimana realita yang kita saksikan bersama dalam kehidupan kita hari ini, masihlah kita banyak mendapati bagaimana Al-Qur’an telah ditafsirkan secara keliru dan meyimpang. Tidak sedikit kita menyaksikan kelompok-kelompok yang mengaku berdiri dan berpijak di atas Al-Qur’an; di atas firman-firman Allah itu, tapi hadir menjadi kelompok yang benar-benar tidak merefleksikan sejatinya ajaran Allah yang Maha Penyayang itu.
Dimanakah sesungguhnya letak salahnya dari mereka yang mengaku berpegang kepada Al-Qur’an itu, tapi tampil dengan wajah yang begitu arogan, menghalalkan pembantaian, membolehkan kekerasan dan perilaku-perilaku yang jauh dari kasih sayang? Tentu saja letak masalahnya bukanlah pada Al-Qur’an melainkan karena mereka tidak menggunakan kalbu mereka untuk mengenali dan mengerti kebenaran yang disampaikan oleh kitab suci. Mereka tidak terkoneksi dengan baik kepada kebenaran dalam kalbu yang mereka punya.
Ada gap yang mengahalangi mereka untuk dapat menjangkau dan menyentuh kebenaran dari ayat-ayat dalam kitab tersebut. Karena apa yang didapat dari masing-masing orang ketika ia membaca Al-Qur’an memang bisa berbeda-beda bergantung pada kesucian niat dan kondisi batin mereka ketika membacanya. Kerenanyalah kenapa kita disunahkan secara syariat untuk berwudlu terlebih dulu dan memohon perlindungan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk ketika hendak membaca Al-Qur’an. Maka jika benar para teroris itu berpegang pada Al-Qur’an, pastilah karena hati mereka yang masih diliputi kebencian dan masih dipenuhi kekerasan itu yang membuat mereka seolah-olah melihat ajaran kebencian dan kekerasan itu di dalam Al-Qur’an. Mereka tidak mendatangi Al-Qur’an dengan hati yang bersih. Coba kita perhatikan ayat berikut ini:
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.(QS. Al-Waaqiah [56]:77-79)
Dari ayat tersebut kita menjadi mengerti bahwa betapa begitu pentingnya memiliki kesucian hati untuk dapat terakses dengan kebenaran yang ada di dalam Al-Qur’an. Dapat kita katakan bahwa hati yang kita punyai itu mempunyai fungsi yang mirip dengan panca indra kita. Sama seperti mata yang jika tidak sehat ia, maka kemampuan kita untuk mengenali warna dan rupa pasti akan terganggu. Demikian juga dengan telinga, hidung, lidah dan syaraf-syaraf kulit kita. Kalbu pun serupa dengan itu. Jika hanya dengan lidah sajalah kita bisa mengenali rasa dan tidak bisa dengan indra yang lain, demikian juga halnya dengan hati. Hanya dengan menggukanan hati saja kita dapat mengenali kebenaran. Maka jika hati terganggu karena kotor atau diliputi nafsu, tentulah kemampuan kita untuk dapat menyentuh kebenaran di dalam Al-Qur’an pun menjadi bermasalah.
Melalui ayat di atas, kita juga menjadi mengerti bahwa sesungguhnya urusan kita tidaklah selesai hanya dengan adanya Al-Qur’an bersama kita. Kita telah menyaksikan bagaimana umat-umat yang lalu, para pewaris kitab di masa sebelum kita ini telah menjadi orang-orang yang durhaka kepada Tuhannya padahal mereka membaca kitab-kitab mereka. Padahal kitab-kitab mereka itupun Allah sebut sebagai kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Jadi hal utamanya bukanlah terletak pada kita punya kitab atau tidak, melainkan bagaimana kita menggunakan kalbu yang telah Allah berikan kepada kita ini. Kitab suci memanglah memuat begitu banyak kebenaran, akan tetapi kita tidak akan pernah dapat menyentuhnya kecuali dengan kesucian hati. Dan tentu hadirnya kitab suci itu bukan untuk memenjarakan kalbu melaikan hadir justru untuk memerdekakan kalbu kita itu. Karena sesungguhnya di sanalah tersimpan kebenaran itu. Di sanalah Tuhan letakan neraca itu. Tentu tidaklah ingin kita disebut oleh Allah seperti keledai yang hanya memikul kitab tapi tidaklah hidup menurut apa yang diajarkan oleh kitab, sebagaimana Allah pernah sebut umat yang lalu seperti demikian itu.
Di sepanjang sejarah peradaban umat manusia ini kita telah banyak menyaksikan bagaimana agama, bagaimana kitab suci, bagaimana nama Allah telah digunakan oleh sekelompok orang hanya sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kekuasaan. Berapa banyaknya sudah perang yang terjadi atas nama agama, atas nama kitab suci dan atas nama Tuhan. Menjadi percumalah sebenarnya kitab suci yang kita warisi itu jika kita tetap mengedepankan nafsu ketimbang hati. Menjadi percumalah kitab suci jika keberadaannya membuat kita berhenti memahami ayat-ayat Allah yang bertebaran di langit dan di bumi. Jika membuat kita berhenti mengenali hikmat dari apa-apa yang telah Allah ciptakan ini.
Bukankah telah Allah nyatakan bahwa tidaklah akan pernah habis ilmu Allah dituliskan sekalipun seluruh lauatan dijadikan tinta dan didatangkan lagi sebanyak itu, lagi dan lagi? Bukankah telah Allah nyatakan pula bahwa kemanapun kamu hadapakan wajahmu di situlah kamu akan lihat wajah Allah? Sungguh ayat-ayat Allah itu tidaklah hanya sebatas 30 juz ayat-ayat dalam kitab suci yang kita punya itu saja.
Karena setiap ciptaan, setiap kejadian dan setiap cerita adalah juga ayat-ayat-Nya. Maka bacalah dalam nama Allah yang menciptakan semua itu dan yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam itu. Dan janganlah menjadi orang yang terpenjara oleh agama dan janganlah juga menjadi orang yang terkekang oleh dalil-dalil. Janganlah menjadi orang yang mengikuti saja semua katanya-katanya tanpa betul-betul mencerna dan memahami dengan sebaik-baiknya menggunakan kalbu.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”(QS. Al-Hajj [22]:46)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI