Mohon tunggu...
Edy Suryadi
Edy Suryadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Inner Life is The Real Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keselarasan Antara Ajaran, Syariat dan Zaman

27 November 2016   00:08 Diperbarui: 27 November 2016   00:26 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, di dalam hati setiap manusia itu Allah telah tiupkan nafas kebenaran yang akan membuatnya mampu mengenali dan memahami kehendak Allah. Tentu memanglah tidak semua manusia mampu menangkap pesan, tanda, asma atau ajaran Allah yang bertebaran di alam semesta ini. Dibutuhkan kesucian dan kejernihan hati bagi manusia untuk dapat menangkap pesan Allah itu. Karena itulah kita mengetahui apa-apa yang Allah kehendaki itu melalui para nabi. Para nabi itu sendiri sebenarnya adalah manusia-manusia yang sama seperti kita, hanya saja mereka memiliki kesucian hati yang berbeda dari umumnya manusia. Kesucian hati mereka itulah yang membuat mereka dapat menerima wahyu Allah. Dan di tangan orang-orang suci seperti mereka itulah pembentukan sebuah sistem berkehidupan menjadi dapat sangat akurat keselarasannya dengan maksud Allah.

Perlu juga kita mengerti bahwa agama itu terwujud dalam paduan sunnatullah dan sunnah rasul. Agama tidaklah selesai pada tataran wahyu saja tapi haruslah ada tehnis implementasi dari wahyu tersebut. Allah menurunkan ukuran kebenaran atas manusia dan kemudian Rasul menterjemahkan ukuran kebenaran tersebut menjadi sebuah implementasi dalam realita berkehidupan. Ini tentu bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. Bagaimana Nabi Muhammad saw. harus mensyariatkan apa-apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya? 

Telah diterangkan di dalam Qur’an bagaimana Nabi Muhammad saw. selama masa kerasulannya itu; di sepanjang masa tugasnya untuk membumikan Al-Islam itu, benar-benar membebaskan dirinya dari segala kepentingan diri dan nafsu. Karena jika Nabi Muhammad saw. sedikit saja melibatkan nafsu dan kepentingan dirinya, menjadi salah dan kotorlah agama yang dibangunnya itu. Menjadi tidak sesuai dan selaraslah agama yang dibangunnya itu dengan kehendak Allah. Dan menjadi tidak diridhailah ia sebagai Islam. 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. Al-Maidah [5]:3)

Ketika telah lengkap dan sempurna Al-Islam itu dibumikan; disyariatkan; diterjemahkan menjadi seperangkat aturan-aturan dan tata cara dalam berkehidupan, ketika itulah Allah menyatakan bahwa diri-Nya ridho itu sebagai Islam. Allah telah perkenankan itu sebagai jalan hidup bagi manusia mencapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Tapi apakah itu berarti bahwa urusan membumikan, menterjemahkan dan mengimplementasikan Islam telah selesai sampai di situ? Tentu saja tidak! Islam harus terus menjadi sebuah sistem yang hidup dan menjadi jiwa dan terus melintasi ruang dan waktu di segala zaman. 

Mari kita perhatikan dengan seksama kalimat terakhir yang digarisbawahi pada ayat tersebut di atas. Dari kalimat tersebut kita akan tahu bahwa meski telah disempurnakannya seperangkat peraturan dan tata cara berkehidupan untuk manusia pada masa itu, tetaplah Allah menginginkan kita bersikap bijaksana. Tetaplah kita tidak boleh kehilangan kedinamisan kita. Tetaplah kita harus memperhatikan realita keadaan yang datang dari tuntutan zaman yang ada. Akan ada saja situasi-situasi dan kondisi-kondisi yang menuntut kita untuk dapat secara bijaksana menselaraskan kembali ajaran dalam sebuah implementasi berkehidupan yang selaras dengan realita zaman.

Kita harus ingat bahwa esensi Islam itu adalah menyelamatkan. Sebagai contoh, meski kita tahu bahwa memakan daging babi itu adalah haram, tapi kita pun tahu bahwa di dalam situasi tertentu, di tengah kelaparan yang hebat dan tidak didapati adanya makanan tersedia selain dari daging babi tersebut, di saat itu ia menjadi halal dan boleh. Bahkan, jika kita membiarkan diri kita mati karena tidak mau memakan daging babi tersebut, maka kita telah berdosa. Dari contoh itu kita tahu betul bahwa agama hadir untuk menyelamatkan dan bukan untuk menyusahkan.

Dan jika merujuk kepada kondisi dan keadaan realita kehidupan kita hari ini; jika kita melihat apa yang dihadapkan pada umat Islam Indonesia hari ini, kita mendapati ada banyak hal yang menuntut kebijaksaan dan kedinamisan kita. Ada banyak hal yang membuat kita harus dengan seksama berpikir dan mencerna untuk menemukan solusi terbaik yang paling selaras dengan ajaran Islam yang kita warisi. Dengan realita kehidupan dimana kita hidup menjadi sebuah bangsa bangsa yang amat beragam suku dan agamanya ini, dalam realitas seperti itu, masih haruskan kita memaksakan Qur’an menjadi dasar utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini? 

Dalam realita keadaan bangsa dimana kita merupakan satu kesatuan bangsa dan negara yang bercampur baur dengan mereka yang kita sebut non-Islam itu, bagaimanakah kita mewujudkan persatuan dan persaudaran bangsa? Dalam realita dimana tidak selalu kita dapati orang-orang Islam lebih berakhlak mulia dari mereka yang kita sebut non-Islam itu, masih haruskah kita memaksakan bahwa seorang pemimpin haruslah mereka yang beragama Islam? Dalam realita yang demikian pula, masih haruskah kita mengangkat senjata untuk menundukan mereka yang tidak beragama Islam untuk tunduk di bawah kuasa kita? 

Dan dalam realita tumbuh kembangnya kebijaksanaan dan kemanusiaan dalam peradaban manusia, masih haruskah kita mengharuskan hukum potong tangan, rajam, pancung dan hal-hal serupa itu sebagai jalan untuk mencapai keadilan? Hal-hal itu hanyalah sedikit hal yang menjadi contoh betapa kita harus cermat dan bijaksana. Betapa kita dituntut untuk dinamis dalam ber-Islam. Betapa kita harus terus menerus menterjemahkan ajaran Islam dalam sebuah implementasi yang paling selaras dan kompetibel dengan keadaan zaman.

Untuk memperkuat pengertian dan pemahaman prihal keselarasan antara ajaran Islam, syariat dan zaman, perlu kita tengok sebuah pengadaian berikut ini: mari kita bayangkan, bayangkan jika seandainya bumi ini dihantam sebuah bencana super dahsyat. Dimana dashyatnya bencana tersebut sampai-sampai hanya menyisakan dua anak manusia yang mampu bertahan hidup. Seorang pria dan seorang wanita yang sama-sama beragama Islam. Dalam keadaan yang demikian itu, seperti apakah bentuk syariat Islam yang harus mereka jalankan? Dan dalam keadaan yang demikian itu, bagaimanakah cara bagi mereka untuk dapat menjalankan Islam secara kaffah? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun