Mohon tunggu...
Edy Suryadi
Edy Suryadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Inner Life is The Real Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keselarasan Antara Ajaran, Syariat dan Zaman

27 November 2016   00:08 Diperbarui: 27 November 2016   00:26 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”  (QS. Al-A’raf [7]:34)

Keselarasan antara ajaran Islam, syariatnya dan zaman dimana syariat tersebut hadir, menurut hemat saya adalah hal yang amat penting untuk kita pahami dengan baik. Karena melalui pemahaman yang baik akan hal ini kita akan dapat mengerti kenapa ajaran Islam yang sama dan serupa itu harus hadir dalam bentuk dan rupa syariat yang berbeda-beda di setiap zamannya. Sebagaimana telah kita ketahui dengan baik bahwa sebenarnya ajaran yang dibawa oleh para nabi dari zaman ke zaman itu adalah ajaran yang sama dan serupa. Akan tetapi, sebagaimana juga telah kita ketahui bersama bahwa di tiap-tiap zamannya itu, para nabi hadir membawa syariat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Tentu ini adalah sebuah perkara yang amat penting yang mesti kita teliti dengan cermat dan pahami dengan kejernihan hati.

Ajaran Islam itu sendiri sesungguhnya merupakan ajaran yang bersumber pada sunnatullah. Kepada ketetapan Allah yang telah ditetapkan-Nya sejak awal penciptaan. Sunnatullah adalah fitrah penciptaan semesta alam ini. Ia adalah hukum alam. Hukum kehidupan. Hukum keseimbangan yang menjadi pemasti terpelihara dan terjaganya alam semesta dalam keseimbangannya. Ia adalah hukum yang tidak bisa ditolak dan dilawan. Menolaknya sama saja dengan menghancurkan diri sendiri. Manusia harus mematuhinya dan mau tidak mau harus berjalan selaras dengannya jika menginginkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Dan ketetapan Allah atas penciptaan-Nya ini meliputi keseluruhan aspek yang ada dalam perikehidupan kita. Inilah kenapa kita menyebut Allah sebagai Tuhan semesta alam dan menyebut Allah berkuasa atas segala sesuatu. Karena sebab itulah menjadi tidak ada satu ruangpun dalam kehidupan ini yang tidak berlaku hukum atau ketetapan Allah padanya.

Ajaran Islam merupakan interpretasi dari sunnatullah tersebut. Ia merupakan hikmah dan nilai-nilai universal yang menjadi jiwa atau ruh atas kehidupan ini. Agama Islam itu sendiri sesungguhnya lahir dalam keinsafan bahwa manusia tidak bisa memilih jalannya sendiri. Manusia harus berjalan selaras dengan ketatapan yang sudah Allah tetapkan atas kehidupan ini. Karena hanya di dalam keselarasan itulah manusia akan memperoleh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Sebaliknya, jika manusia membangkang dari apa-apa yang telah menjadi ketetapan Allah itu, manusia mau tidak mau harus menanggung kerugian dan kerusakan yang pasti akan timbul karenanya.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”  (QS. Ar Ruum [30]:30)

Ajaran Islam sesungguhnya adalah sesuatu yang bersifat kekal dan tidak berubah. Karena ia merupakan fitrah Allah atas penciptaan ini. Sehingga dengan itu, walau mungkin banyak manusia tidak mengetahui hal ini, menjadi pastilah bagi kita bahwa sesungguhnya agama yang dibawa oleh para nabi-nabi itu adalah agama yang sama dan serupa. Karena setiap agama yang dibawa oleh para nabi itu mengakar kepada fitrah Allah yang sama itu dan yang tidak pernah berubah itu.

Lalu, jika demikian adanya, lantaran sebab apakah syariat yang dibawa oleh para nabi itu berbeda-beda bentuk dan rupanya di tiap-tiap zamannya itu? Satu yang dapat kita pastikan mengenai ini adalah karena tiap-tiap zaman di mana para nabi itu hadir tentulah mempunyai karakteristik dan budaya yang berbeda-beda. Karakteristik umat di tiap-tiap zaman berbeda-beda dan kebutuhan serta tuntutan di masing-masing zaman tersebut pun berbeda-beda pula adanya. Dan karena keberadaan syariat itu haruslah dapat menjawab tuntutan zaman, maka syariat yang dibangun pun haruslah kompetibel dengan zamannya. 

Hal penting yang harus kita pahami di sini adalah bahwa agama Islam itu haruslah ia menjadi seperangkat peraturan dan tata cara berkehidupan yang dapat membawa umat di tiap-tiap zaman menjadi selamat, damai dan sejahtera. Itulah karakteristik dari Islam tersebut. Itu yang disebut Al-Islam itu. Agama Islam adalah sistem berkehidupan yang menyelamatkan, mendamaikan dan mensejahterakan. Jika tidak demikian tidaklah ia diridai Allah sebagai Al-Islam. Islam bukanlah sebuah label, bukan pula hanya sebuah merek. Islam adalah agama yang hidup. 

Agama yang harus menjadi jiwa dan menjadi rahmat bagi kehidupan umat manusia dan semesta alam. Agar menjadi nyata meluluinya kasih sayang dan keadilan Tuhan. Melalui Islam menjelmalah sifat-sifat Allah dalam kehidupan umat manusia dan menjadi sesuatu yang dapat dirasakan. Melalui Islam, Allah menjadi Tuhan yang nyata bagi manusia. Melalui Islam, Allah menjadi Tuhan penguasa dan pengatur yang nyata. 

Dan bukti yang paling nyata dari pengakuan umat manusia bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Pemberi, Maha Adil, Maha Bijaksana dan segala ke-Maha-Benaran-Nya itu adalah dengan mewujudkan sebuah sistem berkehidupan yang benar dan adil. Sistem berkehidupan yang benar-benar menjelmakan sifat-sifat Allah dalam realita. Ketika kita mendapati suatu masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan tanpa ada yang mengulurkan tangan atasnya, ketika kita mendapati kejahatan dan kecurangan terjadi tanpa teradili, ketika kita mendapati kezaliman berdiri sebagai pihak yang dimenangkan, ketika itu, dimanakah Tuhan? Bukankah seolah Tuhan tidak ada. Seolah Tuhan hanyalah sosok dongeng dan khayalan. Tidak! Menurut hemat saya tidaklah demikian semestinya. Tuhan harus menjadi sosok yang hadir dalam kehidupan umat manusia. Sifat-sifat Tuhan harus menjelma menjadi sebuah sistem yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi setiap orang.

Dengan memahami hal demikian itu, menjadi yakinlah kita mengatakan bahwa agama nabi Adam as. pun adalah Al-Islam. Menjadi tidak bingunglah kita sekalipun mendapati pertentangan yang demikian besar antara syariat agama Adam as. dengan syariat yang kita kenal hari ini. Kita tidak akan mengatakan bahwa Adam as. telah keliru ketika menghalalkan pernikahan sedarah dalam syariat hidupnya, dan kita tidak dapat pula mengatakan bahwa Adam as. telah salah dengan syariat berkurban yang dijalankannya dengan cara membakar habis kurban persembahannya itu. Kita tahu dengan pasti bahwa itulah Al-Islam di zaman Adam as. Itulah bagian dari sistem berkehidupan yang menyelamatkan, mendamaikan dan mensejahterakan mereka di zaman itu. Syariat mereka adalah implementasi Islam yang terbaik untuk zaman mereka, dan syariat kita haruslah juga merupakan implementasi terbaik untuk zaman kita. Maka hendaklah kita tidak berbantah-bantahan dalam perkara ini.

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.”  (QS. Al-Hajj [22]:67)

Ketika nabi Muhammad saw. datang menegakkan kembali Islam di tanah Arab 1400 tahun yang lalu, kita tahu bahwa di masa sebelum itu telah banyak nabi-nabi yang datang membawa Islam lengkap bersama dengan syariatnya. Bahkan telah datang pula sebelum itu beberapa kitab yang diturunkan Allah untuk manusia. Dan kitab yang dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. itu pun disebut Allah sebagai kitab yang memberi penjelasan yang sempurna sebagaimana diterangkan dalam surat Al-Imran [3]:184 berikut: “Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamupun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” Jika telah ada kitab-kitab yang memberi penjelasan yang sempurna, yang berarti pula telah ada seperangkat syariat yang sempurna padanya, lalu lantaran sebab apakah Nabi Muhammad saw. harus membangun kembali Islam, dan lantaran sebab apakah harus hadir kembali sebuah kitab baru di masa itu? 

Akan sulit tentu bagi kita untuk memahami dengan baik jika kita belum mengerti apa-apa yang sudah dijelaskan sebelumnya. Melalui pengertian yang kita dapat dari penjelasan-penjelasan sebelumnya kita akan dapat sampai pada sebuah pengertian bahwa Zabur dan kitab lainnya disebut sebagai kitab yang memberi penjelasan yang sempurna adalah dalam ukuran zamannya masing-masing. Dan Nabi Muhammad saw. hadir dalam sebuah zaman yang berbeda. Sebuah zaman dengan kebutuhan, tuntutan dan karakteristik umat yang berbeda dengan para nabi sebelumnya.

Dapatkah secara meyakinkan dan tegas kita katakan bahwa tidak ada sedikitpun pertentangan antara nabi yang satu dengan nabi lainnya? Ya! Melalui sejarah panjang perjalanan para nabi kita tahu bahwa sesungguhnya tidak ada sedikitpun pertentangan antara nabi yang satu dengan yang lainnya. Hal yang demikian itu terjadi tentulah oleh karena mereka semua tidak membawa ajaran yang berbeda. Perbedaan syariat yang mereka bawa bukanlah ukuran yang membuat kita dapat berkata bahwa mereka membawa ajaran yang berbeda. Ketika Nabi Muhammad saw. datang, tidaklah ia membawa ajaran yang baru. Sesungguhnya ia datang membawa ajaran yang sudah dikenal sebelumnya. Betul memang bahwa Nabi Muhammad saw. membawa syariat yang baru. Syariat yang berbeda. 

Dan adalah betul pula bahwa ada peraturan dan tata cara berkehidupan yang telah disyariatkan oleh nabi-nabi sebelumnya yang dinasakhkan. Yang tidak lagi digunakan. Yang digantinya dengan yang serupa atau dengan yang lebih baik. Semua itu benar adanya dan memanglah sudah merupakan keharusan zaman. Menjadi penting untuk ditegaskan kembali di sini, bahwa meski demikian adanya, ajaran yang dibawa oleh para nabi itu adalah sama. Adalah serupa. Adalah satu. Al-Islam.

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”   (QS. Al-Baqarah [2]:106)

Perkara dinaskhkanya suatu ayat, suatu aturan atau suatu bagian dari syariat, di dalam sejarah perjalanan peradaban agama para nabi adalah hal yang umum. Kita telah melihat itu terjadi berkali-kali di tiap-tiap zamannya. Tentang hal ini tidaklah perlu menjadi sesuatu yang mengherankan bagi kita, meskipun kita juga harus tahu bahwa perkara nasakh-menasakhkan itu merupakan perkara yang tidak sembarangan. Ini bukanlah perkara suka-suka. Ini bukanlah perkara yang bisa dilakukan sekehendak nafsu dan kepentingan. Ini adalah perkara yang sepenuhnya harus berjalan menurut kehendak Allah. Tidak sedikit memang hal-hal yang berubah, yang ditiadakan dan yang didatangkan yang baru oleh Nabi Muhammad saw. ketika membangun kembali Islam di masanya itu. Itu semua karena memang Nabi Muhammad saw. 

Harus merakit kembali Islam menurut zamannya. Islam yang kompetibel dengan kebutuhan, tuntutan dan karaketeristik umat pada zamannya itu. Islam yang benar-benar dapat membawa manusia di zaman itu kepada keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Di sinilah justru letak, ukuran dan nilai Islam itu. Yaitu ketika ajaranya itu terimplementasikan dalam sebuah syariat yang sepenuhnya selaras dengan zaman. Karena itulah tidak mengherankan bagi kita ketika mendapati datangnya pernyataan Allah akan telah diridhai-Nya agama yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. tersebut baru terjadi dipenghujung masa risalah kenabian Nabi Muhammad saw. Karena memang pada saat itulah Allah memandang telah menjadi lengkap dan sempurnanya agama Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. itu. Ketika itulah Allah baru menyatakan telah ridho agama yang telah diselesaikan pembangunannya itu sebagai Al-Islam.

Manusia memanglah mahluk yang berbeda. Manusia adalah mahluk yang diciptakan Allah dalam kesempurnaanya. Manusia dibakali oleh Allah dengan kecerdasan akal yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lainnya. Hal ini karena memang manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia diciptakan untuk menjadi wakil Allah atas bumi ini. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana Allah telah menundukan bumi dan segala isinya untuk manusia. Kita dapat melihat bagaimana manusia yang tidak memiliki sayap itu dapat terbang jauh melibihi segala mahluk bersayap yang ada di bumi. 

Kita dapat melihat bagaimana manusia yang tidak memiliki pengelihatan sehebat elang itu mampu melihat bahkan sampai dengan struktur atom yang amat kecil itu dan mampu memetakan bintang-bintang di langit. Kita dapat melihat bagaimana manusia yang tidak mempunyai pendengaran secanggih ngengat itu mampu menangkap frekwensi suara sampai dengan tataran terendahnya. Kita juga dapat melihat bagaimana manusia yang tidak seperkasa banteng itu mampu menundukan singa si raja hutan yang perkasa dan berbagai binatang perkasa dan buas lainnya. Manusia mempunyai segala kehebatan yang luar biasa itu karena memang manusia dirancang oleh Allah untuk menjadi wakil-Nya dalam menjaga harmoni dan keseimbangan di alam semesta ini.

Amanat untuk menjadi wakil Tuhan dalam menjaga dan memelihara harmoni dan keseimbangan di alam semesta ini tentu adalah sebuah perkara yang amat berat. Dan karena itulah juga manusia dibekali oleh Allah dengan hati. Dengan sebuah intstrumen yang amat penting bagi manusia yang dengannya manusia dapat mengenali dan memahami kehendak Allah atas kehidupan ini, untuk kemudian menterjemahkan dan mengimplementasikannya ke dalam perikehidupannya. 

Ya, di dalam hati setiap manusia itu Allah telah tiupkan nafas kebenaran yang akan membuatnya mampu mengenali dan memahami kehendak Allah. Tentu memanglah tidak semua manusia mampu menangkap pesan, tanda, asma atau ajaran Allah yang bertebaran di alam semesta ini. Dibutuhkan kesucian dan kejernihan hati bagi manusia untuk dapat menangkap pesan Allah itu. Karena itulah kita mengetahui apa-apa yang Allah kehendaki itu melalui para nabi. Para nabi itu sendiri sebenarnya adalah manusia-manusia yang sama seperti kita, hanya saja mereka memiliki kesucian hati yang berbeda dari umumnya manusia. Kesucian hati mereka itulah yang membuat mereka dapat menerima wahyu Allah. Dan di tangan orang-orang suci seperti mereka itulah pembentukan sebuah sistem berkehidupan menjadi dapat sangat akurat keselarasannya dengan maksud Allah.

Perlu juga kita mengerti bahwa agama itu terwujud dalam paduan sunnatullah dan sunnah rasul. Agama tidaklah selesai pada tataran wahyu saja tapi haruslah ada tehnis implementasi dari wahyu tersebut. Allah menurunkan ukuran kebenaran atas manusia dan kemudian Rasul menterjemahkan ukuran kebenaran tersebut menjadi sebuah implementasi dalam realita berkehidupan. Ini tentu bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. Bagaimana Nabi Muhammad saw. harus mensyariatkan apa-apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya? 

Telah diterangkan di dalam Qur’an bagaimana Nabi Muhammad saw. selama masa kerasulannya itu; di sepanjang masa tugasnya untuk membumikan Al-Islam itu, benar-benar membebaskan dirinya dari segala kepentingan diri dan nafsu. Karena jika Nabi Muhammad saw. sedikit saja melibatkan nafsu dan kepentingan dirinya, menjadi salah dan kotorlah agama yang dibangunnya itu. Menjadi tidak sesuai dan selaraslah agama yang dibangunnya itu dengan kehendak Allah. Dan menjadi tidak diridhailah ia sebagai Islam. 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. Al-Maidah [5]:3)

Ketika telah lengkap dan sempurna Al-Islam itu dibumikan; disyariatkan; diterjemahkan menjadi seperangkat aturan-aturan dan tata cara dalam berkehidupan, ketika itulah Allah menyatakan bahwa diri-Nya ridho itu sebagai Islam. Allah telah perkenankan itu sebagai jalan hidup bagi manusia mencapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Tapi apakah itu berarti bahwa urusan membumikan, menterjemahkan dan mengimplementasikan Islam telah selesai sampai di situ? Tentu saja tidak! Islam harus terus menjadi sebuah sistem yang hidup dan menjadi jiwa dan terus melintasi ruang dan waktu di segala zaman. 

Mari kita perhatikan dengan seksama kalimat terakhir yang digarisbawahi pada ayat tersebut di atas. Dari kalimat tersebut kita akan tahu bahwa meski telah disempurnakannya seperangkat peraturan dan tata cara berkehidupan untuk manusia pada masa itu, tetaplah Allah menginginkan kita bersikap bijaksana. Tetaplah kita tidak boleh kehilangan kedinamisan kita. Tetaplah kita harus memperhatikan realita keadaan yang datang dari tuntutan zaman yang ada. Akan ada saja situasi-situasi dan kondisi-kondisi yang menuntut kita untuk dapat secara bijaksana menselaraskan kembali ajaran dalam sebuah implementasi berkehidupan yang selaras dengan realita zaman.

Kita harus ingat bahwa esensi Islam itu adalah menyelamatkan. Sebagai contoh, meski kita tahu bahwa memakan daging babi itu adalah haram, tapi kita pun tahu bahwa di dalam situasi tertentu, di tengah kelaparan yang hebat dan tidak didapati adanya makanan tersedia selain dari daging babi tersebut, di saat itu ia menjadi halal dan boleh. Bahkan, jika kita membiarkan diri kita mati karena tidak mau memakan daging babi tersebut, maka kita telah berdosa. Dari contoh itu kita tahu betul bahwa agama hadir untuk menyelamatkan dan bukan untuk menyusahkan.

Dan jika merujuk kepada kondisi dan keadaan realita kehidupan kita hari ini; jika kita melihat apa yang dihadapkan pada umat Islam Indonesia hari ini, kita mendapati ada banyak hal yang menuntut kebijaksaan dan kedinamisan kita. Ada banyak hal yang membuat kita harus dengan seksama berpikir dan mencerna untuk menemukan solusi terbaik yang paling selaras dengan ajaran Islam yang kita warisi. Dengan realita kehidupan dimana kita hidup menjadi sebuah bangsa bangsa yang amat beragam suku dan agamanya ini, dalam realitas seperti itu, masih haruskan kita memaksakan Qur’an menjadi dasar utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini? 

Dalam realita keadaan bangsa dimana kita merupakan satu kesatuan bangsa dan negara yang bercampur baur dengan mereka yang kita sebut non-Islam itu, bagaimanakah kita mewujudkan persatuan dan persaudaran bangsa? Dalam realita dimana tidak selalu kita dapati orang-orang Islam lebih berakhlak mulia dari mereka yang kita sebut non-Islam itu, masih haruskah kita memaksakan bahwa seorang pemimpin haruslah mereka yang beragama Islam? Dalam realita yang demikian pula, masih haruskah kita mengangkat senjata untuk menundukan mereka yang tidak beragama Islam untuk tunduk di bawah kuasa kita? 

Dan dalam realita tumbuh kembangnya kebijaksanaan dan kemanusiaan dalam peradaban manusia, masih haruskah kita mengharuskan hukum potong tangan, rajam, pancung dan hal-hal serupa itu sebagai jalan untuk mencapai keadilan? Hal-hal itu hanyalah sedikit hal yang menjadi contoh betapa kita harus cermat dan bijaksana. Betapa kita dituntut untuk dinamis dalam ber-Islam. Betapa kita harus terus menerus menterjemahkan ajaran Islam dalam sebuah implementasi yang paling selaras dan kompetibel dengan keadaan zaman.

Untuk memperkuat pengertian dan pemahaman prihal keselarasan antara ajaran Islam, syariat dan zaman, perlu kita tengok sebuah pengadaian berikut ini: mari kita bayangkan, bayangkan jika seandainya bumi ini dihantam sebuah bencana super dahsyat. Dimana dashyatnya bencana tersebut sampai-sampai hanya menyisakan dua anak manusia yang mampu bertahan hidup. Seorang pria dan seorang wanita yang sama-sama beragama Islam. Dalam keadaan yang demikian itu, seperti apakah bentuk syariat Islam yang harus mereka jalankan? Dan dalam keadaan yang demikian itu, bagaimanakah cara bagi mereka untuk dapat menjalankan Islam secara kaffah? 

Melihat situasi yang demikian itu, dapatlah kita pastikan bahwa akan ada banyak sekali bagian dari syariat Islam dan Qur’an yang terpaksa, mau tidak mau, tidak dapat mereka jalankan atau akan dan harus mereka langgar. Dan dapat kita pastikan pula bahwa cara terbaik bagi mereka untuk tetap dapat bertahan hidup dan terus melanjutkan generasi umat manusia, mereka harus meniru bagian-bagian syariat di zaman Adam as. Dan tentu, meskipun seperti demikian itu adanya, tetaplah hal tersebut tidaklah berarti mereka akan disebut sebagai orang-orang yang telah mendustai Islam atau disebut sebagai orang-orang yang telah mengingkari Qur’an. Mereka tetaplah akan dapat disebut sebagai seorang muslim dan mereka tetaplah dapat disebut telah menjalankan Islam secara kaffah selama mereka menjalankan kehidupan mereka di atas dasar-dasar ajaran Islam. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun