"Kenapa kau bemenung seorang?"
"Kuperhatikan kau seperti ingat pacar?"
Si Abang tak melanjutkan pertanyaannya lagi. Seolah mengerti si Adek tengah memikirkan sesuatu. Berat nampaknya. Tapi tidak seperti biasanya, ketika diperhatikan si Abang, termenungnya si Adek mengeluarkan air mata.
Khawatir sang Adek punya persoalan berat dan tidak menemukan solusi, lalu si Abang berinisiatif mengajukan pertanyaan lagi sambil mendekat. Ya, mendekati ke arah posisi si Adek yang duduk di pojok ruang tamu seorang diri.
"Sudahlah, kalau Adek punya masalah berat, Abang ikut membantu. Tapi, kire-kire, apa tuh masalahnye," ucap si Abang dengan nada perlahan.
"Aku ini lagi besedih," kata si Adek dengan logat Melayu kental.
Dua bersaudara Adek dan si Abang ini sehari-hari pandai bergurau. Sopan pula. Sehingga di lingkungan sekolahnya banyak teman. Mereka suka si Abang selain pandai juga banyak menolong teman. Sedangkan si Adek dalam berbagai kesempatan sering membantu rekannya menyelesaikan soal matematik yang dianggap sulit. Adek juga sering mengajak temannya makan bersama di rumah dan berbagi ilmu.
Ya, makan bersama di rumah. Ketika sedang belajar bersama, si Adek selalu minta disediakan ibunya makan bersama dengan teman. Alasannya, biar tambah semangat belajar.
Lalu, mengapa si Adek begitu lama termenung dan bersedih. Hal ini yang tengah dicari informasinya oleh si Abang. Abang menduga, Adek yang usianya terpaut tiga tahun mulai naksir gadis bintang sekolah.
Jika sudah membicarakan dunia kehidupan remaja, Abang sangat paham dan berpengalaman. Banyak gadis cantik tertarik kepadanya, tapi si Abang masih jaga jarak. Ia masih takut dimarahi Pak Ngah jika kedapatan pacaran dan kemudian menegur emaknya. Â
"Ah, yang ini tak sulit," pikir si Abang sambil tetap memandangi si Adek yang masih juga tak banyak mengeluarkan kata-kata.Â
![Belajar di ruang terbuka. Foto | Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/25/belajar-di-ruang-terbuka-jpg-5fbe66f554917f10592fa9c2.jpg?t=o&v=770)
"Pak Ibrahim wafat kemarin. Barusan Pak Amir, pagi tadi, kabarnya meninggal. Sedih," ucap Adek dengan nada tersendat.
Kini, giliran si Abang terdiam. Ia merasa terkejut dan sedih mendengar kabar Pak Amir wafat. Dia adalah guru kesayangannya. Bukan hanya mahir mengajar ilmu matematik, tetapi juga ilmu-ilmu sosial lainnya.
Lantas, kabar itu disampaikan kepada kedua orangtuanya yang disusul ucapan ikut berduka.
Pada kesempatan lain, tiga hari setelah Pak Amir wafat, keluarga ini mengajak rekan-rekan si Adek ke kediamannya. Tak banyak, kisaran 10 -- 12 orang ditambah seorang guru agama. Jadi, sepulang sekolah, digelar perhelatan acara tahlilan dan doa bagi almarhum kedua guru mereka yang dicintai.
Sebelum acara dimulai, dilangsungkan sholat zuhur bersama disusul tausiyah dari Pak Subhan selaku guru agama. Acara tahlil itu sendiri dipimpin Pak Suyuti, selaku tuan rumah dari orangtua Adek dan si Abang.
**
Berita keluarga Adek menyelenggarakan tahlil dan doa terdengar ke telinga para guru di sekolah. Mereka mengapresiasi dan menyampaikan ucapan terima kasih ketika para guru tengah mengajar di depan kelas.
Adek di mata para guru memang dikenal sebagai murid cerdas. Padahal jika dilihat latarbelakang orangtuanya bukan sebagai orang akademis, tak memiliki gelar strata satu.
Pak Suyuti, orangtua Adek, adalah petani jeruk di Sambas, Kalimantan Barat. Jeruk Sambas, kemudian populer dengan sebutan jeruk Pontianak, telah mengantarkan keluarganya ini hidup berkah. Kaya sih tidak, tetapi cukup untuk menjadikan hidup sejahtera.
Tidak ada lagi jeruk dibuang ke jalan raya, sebagai bentuk protes petani jeruk kalah buah itu panen melimpah namun tak bisa dijual. Perdagangan jeruk tidak seperti dulu lagi, dimonopoli oleh salah satu perusahaan di Jakarta.
Nah, lantaran sang Adek kecedasannya melebihi rata-rata teman-temannya di sekolah, para guru mencari tahu kunci rahasia cara belajar Adek di rumah.
Ketika Pak Suyuti didatangi para guru di kediamannya, semua disampaikan dan diceritakan bagaimana cara belajar Adek.
"Tidak ada yang aneh," kata Pak Suyuti.
Hanya saja, Adek itu jika belajar tidak seperti kakaknya, si Abang dan teman di lingkungan tetangganya. Belajarnya tetap sama, membaca dan mencoret-coret kertas apa yang dipelajari.
![Belajar di pelataran/ruang terbuka. Foto | Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/25/belajar-di-halaman-jpg-5fbe674bd541df44773bc5f2.jpg?t=o&v=770)
"Tidak seperti si Abang. Pasti ada yang berbeda?" tanya seorang guru.
Bedanya hanya waktu belajar. Jika si Abang belajar seusai sholat magrib, tetapi si Adek malah tak belajar. Ia malah banyak berdoa seusai sholat magrib sampai Isya. Lalu, pergi tidur dengan sebelumnya berpesan kepada ibunya agar dibangunkan pada malam hari.
"Ya, kisaran jam tiga malam," cerita Pak Suyuti.
Ada kebiasaan bagi si Adek, jika ia hendak belajar memulai dengan membaca doa. Yang tak pernah dilupakan adalah membaca surat Fatiha. Surat Fatiha itu juga dibaca ketika sebelum membaca buru pelajaran.
Adek selalu membaca surat itu ditujukan kepada pengarang bukunya sambil mengucapkan kalimat begini. Semoga ilmu yang ditulis pengarang buku ini memberi manfaat bagi dirinya.
"Itu saja, sih," sambung Pak Suyuti.
Sehingga, lanjutnya, si Adek sering bercerita kepadanya jika ia mengalami kesulitan untuk memahami isi buku yang dipelajari, selalu saja dapat kemudahan setelah diajari melalui mimpinya.
"Hmmm," kata para guru menyambut cerita Pak Suyuti.
 Adek belajar dengan kekuatan spiritual yang dimiliki. Pantas saja ia sangat hormat kepada guru-gurunya.
Selamat Hari Guru 2020
Kisah ini didapat penulis dari Kabupaten Sambas, etnis Melayu yang memiliki dialek mirip Betawi di perbatasan Provinsi Kalbar dan Serawak, Malaysia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI