"Pak Ibrahim wafat kemarin. Barusan Pak Amir, pagi tadi, kabarnya meninggal. Sedih," ucap Adek dengan nada tersendat.
Kini, giliran si Abang terdiam. Ia merasa terkejut dan sedih mendengar kabar Pak Amir wafat. Dia adalah guru kesayangannya. Bukan hanya mahir mengajar ilmu matematik, tetapi juga ilmu-ilmu sosial lainnya.
Lantas, kabar itu disampaikan kepada kedua orangtuanya yang disusul ucapan ikut berduka.
Pada kesempatan lain, tiga hari setelah Pak Amir wafat, keluarga ini mengajak rekan-rekan si Adek ke kediamannya. Tak banyak, kisaran 10 -- 12 orang ditambah seorang guru agama. Jadi, sepulang sekolah, digelar perhelatan acara tahlilan dan doa bagi almarhum kedua guru mereka yang dicintai.
Sebelum acara dimulai, dilangsungkan sholat zuhur bersama disusul tausiyah dari Pak Subhan selaku guru agama. Acara tahlil itu sendiri dipimpin Pak Suyuti, selaku tuan rumah dari orangtua Adek dan si Abang.
**
Berita keluarga Adek menyelenggarakan tahlil dan doa terdengar ke telinga para guru di sekolah. Mereka mengapresiasi dan menyampaikan ucapan terima kasih ketika para guru tengah mengajar di depan kelas.
Adek di mata para guru memang dikenal sebagai murid cerdas. Padahal jika dilihat latarbelakang orangtuanya bukan sebagai orang akademis, tak memiliki gelar strata satu.
Pak Suyuti, orangtua Adek, adalah petani jeruk di Sambas, Kalimantan Barat. Jeruk Sambas, kemudian populer dengan sebutan jeruk Pontianak, telah mengantarkan keluarganya ini hidup berkah. Kaya sih tidak, tetapi cukup untuk menjadikan hidup sejahtera.
Tidak ada lagi jeruk dibuang ke jalan raya, sebagai bentuk protes petani jeruk kalah buah itu panen melimpah namun tak bisa dijual. Perdagangan jeruk tidak seperti dulu lagi, dimonopoli oleh salah satu perusahaan di Jakarta.