Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Andai Cari Kerja Mudah, Pekerjaan Menyiksa Ini Kutinggalkan

2 November 2020   19:42 Diperbarui: 2 November 2020   19:46 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Bos yang galak. Foto | Maxmanroe.com

Andai mencari pekerjaan itu mudah diperoleh, pekerjaan keparat ini sudah lama kutinggalkan.

Pantas. Ya, sekali lagi pantas untuk ditinggalkan. Mencari pekerjaan halal itu memang tidak mudah, terlebih pada zaman edan saat pandemi Covid-19. Menjengkelkan. Sebentar-sebentar famili datang menanyakan, adakah lowongan pekerjaan untuk anaknya.

Mencari pekerjaan yang haram saja, misalnya untuk menjadi pencuri, rasanya sulit didapat karena takut tertangkap aparat. Jadi perampok, yang tak punya kemahiran dan nyali untuk berkelahi.

Serba salah. Sekarang pekerjaan sudah di tangan. Tetapi, perlakuan para atasan sungguh menjengkelkan. Keterlaluan. Sebentar-sebentar mengeluarkan cacian. Mungkin dari celotehnya, jika direkam setiap hari, sudah puluhan binatang di kebun raya Ragunan diucapkan.

Bekerja sebagai bawahan memang tidak enak. Tapi, untuk jadi bos juga bukan hal mudah. Jelan menuju peringkat bos harus merangkak. Kata orang bijak, kudu prihatin dan bermental baja.

Ah, persetan nasihat itu. Ternyata, realitasnya jauh api dari panggang. Menyakitkan. Terasa diri diperlakukan seperti binatang. Selalu saja dipersalahkan. Tak ada kalimat seperti nak harusnya begini. Besok jangan diulang lagi, gunakan logika sehingga tak terjebak pada kesalahan yang sama.

Malah, yang muncul adalah kata-kata kasar seperti bodoh kamu. Lulusan perguruan tinggi ternama pula, tetapi kinerjanya harus dituntun seperti anak baru bisa membaca. 

**

Itulah dunia kerja.

Jangan memandang semua serba enak. Bisa jadi seseorang berangkat dari kediamannya mengenakan pakaian mentereng. Mengenakan dasi. Eh, tak tahunya, ketika di kantor, tampil seperti ayam sayur.

Diperintah untuk membikin konsep surat, tak becus. Diperintah untuk mengoperasikan komputer dan memanfaatkan aplikasi tersedia, juga tak mampu.

Bisa jadi, yang dimiliki kemampuannya hanya membuat guntingan kertas koran yang sesungguhnya untuk era sekarang sudah ditinggalkan.

Tidak selamanya atasan berlaku bengis kepada anak buah. Pada saat-saat tertentu ia mengambil sikap ramah. Tentu saja, ya punya maksud. Tapi, apa pun yang dilakukannya, selama itu dimaksudkan untuk mendorong anak buah maju dalam bekerja, sepatutnya hal itu diindahkan.

Pengalaman penulis ketika bekerja, seperti menulis artikel lalu dicampakan atasan sepertinya sudah menjadi tradisi. Sakit. Ya, sakitnya merasa di sini. Di dada. Dan, andai saat itu tidak memiliki rasa sabar, ya untuk berduel dengan macam orang itu tentu sudah terjadi.

Kala sejumlah kantor belum menggunakan komputer, penulis mengerjakan naskah di atas selembar kertas dengan meskin ketik. Lalu, hasilnya diserahkan kepada editor. Apa yang terjadi, kertas tadi dikoyaknya. Lalu, ya dibuang ke tempat sampah kolong meja.

Yang keluar dari mulut sang editor tadi, hanya sebuah perintah dengan kata singkat. "Bikin dan ulang lagi".

Ah, perintah tanpa pengarahan. Ini yang menjengkelkan.

**

Pengalaman penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sekarang aparatur sipil negara atau ASN, dan jadi jurnalis pada awal-awalnya terasa menyiksa. Badan terasa tersiksa, lelah dan otak terasa beku lantaran sulit berkreativitas.

Mungkin semua itu terjadi karena kerja di bawah tekanan. Terasa tak memiliki kemerdekaan.

Lebih menyakitkan tuduhan tak pada tempatnya. Yaitu, dapat pos "basah" dan setiap kembali dari lapangan dimintai upeti. Kalau ingat itu, rasanya ingin menjotos. Sebab, ia telah memalak.

Tapi, sudahlah. Itu hanya sebagai pengalaman belaka. Semua menjadi catatan tersendiri. Pengalaman harus dijadikan guru. Yang jelas, seseorang yang telah menghianati pekerjaannya pada hari tua telah memetik buah hasilnya sendiri. Ada di antaranya, kehidupannya memprihatinkan.

Lalu, kita pun hanya mampu mengatakan, oh kasihan. Yang bersangkutan menderita berbagai penyakit. Penderitaan sudah pasti didapat.

Peganglah nasihat orang bijak. Kerja itu selalu harus dimaknai sebagai ibadah. Jalani dengan ikhlas dan sabar. Tak perlu melawan atasan secara frontal. Sebagai pegawai, tetaplah berpegang pada peraturan. Selalu minta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Allah itu Maha Tahu segalanya dan tidak tidur.

Salam berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun