Bisa jadi, yang dimiliki kemampuannya hanya membuat guntingan kertas koran yang sesungguhnya untuk era sekarang sudah ditinggalkan.
Tidak selamanya atasan berlaku bengis kepada anak buah. Pada saat-saat tertentu ia mengambil sikap ramah. Tentu saja, ya punya maksud. Tapi, apa pun yang dilakukannya, selama itu dimaksudkan untuk mendorong anak buah maju dalam bekerja, sepatutnya hal itu diindahkan.
Pengalaman penulis ketika bekerja, seperti menulis artikel lalu dicampakan atasan sepertinya sudah menjadi tradisi. Sakit. Ya, sakitnya merasa di sini. Di dada. Dan, andai saat itu tidak memiliki rasa sabar, ya untuk berduel dengan macam orang itu tentu sudah terjadi.
Kala sejumlah kantor belum menggunakan komputer, penulis mengerjakan naskah di atas selembar kertas dengan meskin ketik. Lalu, hasilnya diserahkan kepada editor. Apa yang terjadi, kertas tadi dikoyaknya. Lalu, ya dibuang ke tempat sampah kolong meja.
Yang keluar dari mulut sang editor tadi, hanya sebuah perintah dengan kata singkat. "Bikin dan ulang lagi".
Ah, perintah tanpa pengarahan. Ini yang menjengkelkan.
**
Pengalaman penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sekarang aparatur sipil negara atau ASN, dan jadi jurnalis pada awal-awalnya terasa menyiksa. Badan terasa tersiksa, lelah dan otak terasa beku lantaran sulit berkreativitas.
Mungkin semua itu terjadi karena kerja di bawah tekanan. Terasa tak memiliki kemerdekaan.
Lebih menyakitkan tuduhan tak pada tempatnya. Yaitu, dapat pos "basah" dan setiap kembali dari lapangan dimintai upeti. Kalau ingat itu, rasanya ingin menjotos. Sebab, ia telah memalak.
Tapi, sudahlah. Itu hanya sebagai pengalaman belaka. Semua menjadi catatan tersendiri. Pengalaman harus dijadikan guru. Yang jelas, seseorang yang telah menghianati pekerjaannya pada hari tua telah memetik buah hasilnya sendiri. Ada di antaranya, kehidupannya memprihatinkan.