"Ampun deh. Jadi, hari gini enggak tahu Kompasiana?" pikir penulis.
Tapi, ya agar persahabatan tidak menjadi rusak, penulis hanya memberi jawaban ringan.
"Gaji sih enggak besar. Â Namanya saja saya ini penulis recehan.Tentu saja, hasil yang didapat recehan pula," kata penulis sambil melempar senyum.
Nah, sejak itu masih ada rekan yang percaya bahwa saya adalah Wartawan Kompasiana. Padahal sih, enggak gitu. Hanya saja, rekan penulis ini kuper alias kurang gaul. Masa' enggak tahu apa itu Kompasiana.
Realitasnya, Kompasiana itu memang masih dianggap sebagai sebuah media. Â Ingin tahu?
Begini. Penulis pernah dicari-cari warga di salah satu pemukiman Tangerang, Banten. Awalnya, Â ada sebuah perhelatan. Yaitu sabung ayam "sparing partner" dijadikan bahan tulisan. Tulisan itu oleh admin jadi artikel utama di Kompasiana. Keren, kan? Penulis pun merasa gembira.
Dua hari berikutnya, penulis mendapat telepon. Dari seberang sana, salah seorang dari kawasan pemukiman itu mengeluarkan ancaman. Sebab, artikel itu menimbulkan kesan bahwa di daerahnya telah dijadikan kawasan sabung ayam, taruhan pula.
Eih, ala mak!
Beberapa hari berikutnya penulis mendatangi orang yang mengeluarkan ancaman. Ya, dihadapi. Penulis merasa yakin tak salah. Sebab, dalam artikel itu tak sepatah-kata pun tertulis kata judi. Sabung ayam adalah fakta.
Tidak ada persiapan khusus menghadapi orang yang mengeluarkan ancaman membunuh penulis. Hadapi dengan baik. Dan, singkat cerita mereka merasa keberatan sabung ayam "sparing partner" dipublikasi. Terlebih kawasan itu disebut dekat pondok pesantren yang dipimpin Ustaz Yusuf Mansyur.
Kesimpulannya, mereka tidak terima karena seolah tak peduli dengan lingkungan. Sementara  warga setempat menjunjung nilai-nilai agama.