Dari dulu penulis tak pernah mengaku diri sebagai wartawan. Baik dalam pergaulan di lingkungan domisili penulis atau pun ketika bergaul dengan orang-orang kementerian/instansi pemerintah.
Di lingkungan instansi pemerintah, biasanya para pejabat sudah tahu mana wartawan dan karyawan. Pejabat mengetahui siapa yang menjalani profesi wartawan lantaran sebelum meliput di instansi bersangkutan, wartawan dibekali kartu identitas.
Jauh sebelum itu, sudah menjadi ketentuan, pimpinan redaksi mengirim surat ke biro humas kementerian. Isinya menjelaskan bahwa pimpinan media bersangkutan menunjuk wartawannya meliput kegiatan keseharian di instansi itu. Dengan begitu, sekalipun ada wartawan tak mengenakan identitas (karena lupa, tertinggal, hilang dst) bisa dimaklumi.Terpenting sudah dikenal.
Itulah sebabnya penulis tak pernah mengaku-ngaku sebagai wartawan. Ya, sebutan bekennya jurnalis. Sebutannya saja terkesan hebat, pemburu berita. Tapi, soal rejeki lebih dikesankan negatif. Yaitu, wartawan amplop. Ini menyedihkan.
Tapi, herannya profesi ini masih dicintai. Mungkin lantaran sering diperebutkan para elite sehingga disebut ratu dunia. Keren, kan? Dalam sejarah saja, coba lihat pernyataan Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte yang takut dengan pers ketimbang pasukan militer.
**
Lalu, bagaimana menjadi  wartawan Kompasiana?
Lagi-lagi, penulis tak pernah mengaku-ngaku sebagai wartawan Kompasiana. Sungguh! Penulis sadar bahwa Kompasiana adalah sebuah laman dari kumpulan penulis blog dengan berbagai strata sosial.
Di situ ada penulis seni, jadi pelaku seni (seniman). Di Kompasiana ada sastrawan, ada politisi, praktisi pers, pebisnis, birokrat, dosen, guru, mahasiswa dan segala profesi lainnya. Bahkan guru besar pun tak ketinggalan ikut menyumbangan pikirannya pada laman Kompasiana. Hebat, kan?
Namun, sampai 12 Tahun Kompasiana berdiri, penulis menjadi bingung ketika bertandang ke salah satu daerah. Tetiba dari arah kerumunan orang di samping penulis, ada seseorang berteriak. Katanya sambil menunjuk jarinya ke arah penulis: "Itu dia, wartawan Kompasiana."
"Hmmm. Ini bisa jadi penyakit," pikir penulis suatu saat.
**
Dalam suatu kesempatan penulis mendampingi isteri ikut komunitas pengajian di lingkungan alumni Universitas Trisakti Jakarta. Penulis tak merasa minder menghadapi orang-orang berpenampilan cantik dan terkesan "wah". Â Terpenting, istriku juga cantik.
Pikir penulis, kemuliaan seseorang bukan terletak dari "kesingnya" tetapi pada amal baktinya dari orang bersangkutan. Nah, berbekal dari pengalaman dan pemahaman seperti itu, ya penulis bisa menyesuaikan dengan lingkungan para hadirin dalam komunitas itu.
Awalnya, para ibu dan bapak-bapak yang usianya sebaya dengan penulis merasa kaku ketika berhadapan dan ngobrol dengan penulis. Lambat laun, dalam pertemuan berikutnya, tidak ada lagi rasa canggung. Mereka bicara terbuka seperti famili sendiri.
Rupanya, mereka tahu bahwa setiap pengajian, hasil kajian Alquran bersama penceramahnya dimuat di rubrik Kompasiana. Mereka membacanya. Nah, sejak itu penulis kerap ketika bertemu mereka dipanggil sebagai wartawan Kompasiana.
Kalau ada acara foto bersama, para ibu minta dekat dengan isteri penulis. Alasannya, sangat mungkin dapat dimuat di Kompasiana.
"Dekat sini, dekat ibu wartawan Kompasiana. Nanti dimuat di Kompasiana," gitu alasan mereka.
**
Jauh sebelumnya penulis sadar bahwa sebutan wartawan Kompasiana jadi bermasalah. Kok, bisa ya?
Begini. Dalam suatu kesempatan penulis berkumpul dengan para mantan pensiunan instansi penulis dulu bekerja. Ya, kantor berita Antara, yang dulu disebut "grosir" berita.
Salah seorang di antara rekan penulis bertanya, berapa sih gaji Wartawan Kompasiana?
"Ampun deh. Jadi, hari gini enggak tahu Kompasiana?" pikir penulis.
Tapi, ya agar persahabatan tidak menjadi rusak, penulis hanya memberi jawaban ringan.
"Gaji sih enggak besar. Â Namanya saja saya ini penulis recehan.Tentu saja, hasil yang didapat recehan pula," kata penulis sambil melempar senyum.
Nah, sejak itu masih ada rekan yang percaya bahwa saya adalah Wartawan Kompasiana. Padahal sih, enggak gitu. Hanya saja, rekan penulis ini kuper alias kurang gaul. Masa' enggak tahu apa itu Kompasiana.
Realitasnya, Kompasiana itu memang masih dianggap sebagai sebuah media. Â Ingin tahu?
Begini. Penulis pernah dicari-cari warga di salah satu pemukiman Tangerang, Banten. Awalnya, Â ada sebuah perhelatan. Yaitu sabung ayam "sparing partner" dijadikan bahan tulisan. Tulisan itu oleh admin jadi artikel utama di Kompasiana. Keren, kan? Penulis pun merasa gembira.
Dua hari berikutnya, penulis mendapat telepon. Dari seberang sana, salah seorang dari kawasan pemukiman itu mengeluarkan ancaman. Sebab, artikel itu menimbulkan kesan bahwa di daerahnya telah dijadikan kawasan sabung ayam, taruhan pula.
Eih, ala mak!
Beberapa hari berikutnya penulis mendatangi orang yang mengeluarkan ancaman. Ya, dihadapi. Penulis merasa yakin tak salah. Sebab, dalam artikel itu tak sepatah-kata pun tertulis kata judi. Sabung ayam adalah fakta.
Tidak ada persiapan khusus menghadapi orang yang mengeluarkan ancaman membunuh penulis. Hadapi dengan baik. Dan, singkat cerita mereka merasa keberatan sabung ayam "sparing partner" dipublikasi. Terlebih kawasan itu disebut dekat pondok pesantren yang dipimpin Ustaz Yusuf Mansyur.
Kesimpulannya, mereka tidak terima karena seolah tak peduli dengan lingkungan. Sementara  warga setempat menjunjung nilai-nilai agama.
Alasannya sangat masuk akal. Maka, jadilah artikel yang terlanjur jadi artikel utama dihapus sesuai dengan permohonannya. Dan, soal ancaman pembunuhan, itu hanya sebuah gertakan yang memang harus disikapi dengan bijaksana.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H