Sudah tiga batang rokok keretek dihisap. Â Tetapi pemuda paruh baya itu masih bersemangat untuk kembali menghisapnya. Sepertinya ia tengah ketagihan. Pada batang rokok keretek yang kelima, barulah ia memindahkan letak pantatnya. Hanya beberapa jengkal.
Dari atas tangga jembatan penyeberangan orang di ruas jalan Harmoni -- Kota, menyebar bau asap rokok kemenyan.
Kupandangi. Ia mengambil sikap masa bodoh. Ia terus saja menyedot rokoknya. Kuperhatikan, sudah enam batang rokok disulut lalu cepat-cepat dihisap. Asap yang mengepul dari mulutnya ditiup ke segala arah. Dan, tentu saja mengarah kepadaku. Barulah pada batang yang keenam ia menghentikan kegiatan menghisap rokok yang kemudian disambut suara pekik unjuk rasa beringas di kawasan Harmoni.
Hmmm. Tak ada dupa pembakaran kemenyan. Yang ada adalah membakar menyan melalui rokok. Lalu, si perokok menyan ini memperhatikan diriku.Ia melempar senyum. Aku pun senyum tanpa memperlihatkan mulut dan gigi lantaran mengenakan masker. Ia kemudian pun memakai masker yang sedari tadi dilepas.
Aku mendekat. Si pemuda paruh baya itu menyambut. Dan, dari atas jembatan penyeberangan inilah kami berbincang dengan didahului memperkenalkan diri masing-masing.
"Saya datang dari kulon," katanya tanpa menyebut namanya.
"Saya Jojon, dari kampung Sawah," kataku singkat.
Kupahami, maksud kata kulon adalah dari arah barat. Bisa jadi ia datang dari Banten. Provinsi pemekararan dari Jawa Barat ini memang beken dengan ilmu goibnya.
Tanpa basa-basi, kutanyakan tujuannya mengapa menggunakan menyan pada rokok yang dihisap.
Ia pun tanpa basa-basi, langsung menjelaskan tujuan rokok kemenyan yang dihisapnya itu.
Katanya sambil mencabut rokok dari bungkusnya, rokok ini dimaksudkan untuk menyemangati para pengunjuk rasa menyalurkan aspirasinya. Â Secara fisik mereka masih muda, tetapi keteguhan hati dalam memperjuangkan haknya belum tentu sebaik yang diharapkan.
"Karena itu, perlu diberi kekuatan dari dalam dirinya," ujarnya lagi.
**
Dari kejauhan, kami, berdua seolah tengah menikmati brutalnya anak-anak muda merangsek ke arah barisan polisi.
Teringat kisah-kisah horor di dalam film layar lebar. Pandangan kuarahkan kepada pemuda paruh baya yang berdiri di samping. Terlihat ia tersenyum. Bangga.
Bagaimana pendapat abang tentang unjuk rasa ini? tanyaku.
Ia tidak cepat-cepat memberi jawaban. Lama terdiam. Matanya masih tetap ke arah para pemuda yang tengah asyik melempar benda-benda ke arah polisi.
"Ini baru sukses. Mereka punya nyali," sahutnya sambil mepas masker.
"Tapi, maaf, saya harus memberi semangat," katanya.
Lantas, ia pun kembali mencabut batang rokok dari bungkusnya. Itu berarti sudah tujuh batang rokok kemenyan dihisapnya.
"Berapa batang target menghisap rokok itu, bang?" tanyaku mengagetkannya yang tengah merasa nikmat menyedot asap rokok itu.
"Bagusnya sampai sembilan batang," sahutnya.
Bilangan ganjil itu bagus, katanya dan disusul penjelasannya bahwa Pemda DKI Jakarta saja punya sebutan untuk aturan lalu lintas ganjil dan genap.
"Iya, kan?" katanya sambil melempar tawa.
Dalam Islam pun orang berzikir bilangan ganjilnya ada tujuh, sembilan, sebelas, tiga-tiga hingga sembilan-sembilan.
Untuk memberi spirit para pengunjuk rasa, rokok kemenyan yang dihisap juga sebilan batang. Jika ingin sukses, selalulah berpegang pada bilangan ganjil.
Lihat! Asap kemenyan telah membawa sukses pengunjuk rasa UU Cipta Kerja ini. Lalu, ia pun mengaku akan hadir lagi kala unjuk rasa digelar. Tapi, itu juga tergantung dari bayarannya. Berani berapa?
Kalau bayarannya kelas recehan sih, tidak perlu dilayani, katanya sambil meninggalkan penulis yang berdiri bengong.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H