Ke mana-mana selalu membawa batu kerikil sebesar kelereng. Paling kurang lima sampai sepuluh butir tersimpan di saku celananya. Batu-batu yang dipungut di tepi jalan itu sebelumnya dicuci hingga bersih, lalu diisi doa-doa seusai menjalani shalat lima waktu.Â
Merasa yakin doa yang dipanjatkan telah meresap, lalu batu-batu itu dilemparkannya ke tempat yang dianggapnya angker. Seperti rumah bangunan tua, pohon besar hingga tempat pemujaan di rumah ibadah.Â
Itulah Bin Kohar. Ia merasa dirinya sudah hebat bagai sahabat Nabi Muhammad Saw, yaitu yang terkenal Umar bin Khattab.Â
Kita pun, dari sisi sejarah, tahu siapa Umar bin Khattab Radhiyallahu'anhu. Ia adalah sosok sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang patut diteladani.Â
Rasulullah menjuluki Umar sebagai Al Faruq yakni orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Bahkan setan pun lari jika bertemu Umar bin Khattab.Â
Nah, Bin Kohar sepertinya ingin tampil mereprentasikan dirinya seperti sosok sahabat Nabi Saw itu. Karenanya, dengan kebolehan ilmu dari hasil belajar dari sebuah perguruan hikmah, ia ingin setan-setan kabur dari tempat yang dipandangnya dapat menyesatkan banyak orang.Â
Ketika Bin Kohar berjalan tamasya ke pantai Pasir Putih Singkawang, batu kerikil tetap dibawanya. Sungguh, ia meyakini batu-batu itu sudah memiliki kekuatan dari doa yang dipanjatkannya. Karena itu ia tak ragu melemparkannya ke bawah pohon besar di tepi pantai.Â
Ketika ia melihat kelenteng, ia juga melempar batu itu ke arah pintunya.Â
Pasti ngibrit tuh hantu-hantu di situ, pikir Bin Kohar seperti dalam kisah fiksi horor.
Bin Kohar di kalangan rekan-rekannya memang dikenal sebagai pemberani. Meski badannya rada kerempeng, bukan berarti itu mengendurkan semangatnya dalam menuntut ilmu "bidang dalam".Â
Pikirnya, ketaqwaan harus dibarengi keunggulan ilmu bidang batin. Olah batin dari setiap ilmu yang didapat harus diabdikan kepada kepentingan umat. Moralitas dan integritas umat harus terjaga.Â
Kehebatan Bin Kohar memang tak diragukan. Pernah dalam satu kesempatan seusai shalat subuh ia mengajak beberapa rekan seperguruan untuk mengadu kebolehan.Â
Ia di depan sebuah diskotik, tepatnya tak jauh dari ujung Jembatan Kapuas, Pontianak, ia memperagakan kehebatannya.Â
Apa yang dilakukannya. Bin Kohar mampu membenturkan kepala orang ke tiang listrik dari jarak jauh. Orang bersakutan tengah mabuk ketika baru saja keluar dari pintu diskotik.Â
Bukan itu saja, Bin Kohar juga pandai mengisi raga anak sekolah dengan sejumlah doa. Harapannya, ketika anak sekolah tawuran, anak yang telah diisi dengan cara membaca doa di ubun-ubunnya tak mempan jika terkena benda tajam.Â
**Â
Bin Kohar makin percaya diri dengan ilmu yang dipelajari.Â
"Selagi berpegang kepada kekuatan yang diberikan Tuhan, apa salahnya setan sebagai pengganggu manusia diberantas," pikir Bin Kohar suatu hari.
Nah, kini Bin Kohar jadi jemawa. Kala pikiran datang seperti itu, muncul tantangan.Â
Ini berawal dari perjalanan luar kota. Pada tengah malam, ia dengan mengendarai mobil seorang diri melintas jembatan Sungai Kapuas. Sungai terkenal yang terpanjang di pulau Kalimantan dan sekaligus menjadi sungai terpanjang di Indonesia mencapai 1.143 km.Â
Sinar lampur di atas jembatan seperti tak berfungsi. Sering padam. Maklum, sumber energi listrik PLTD. Mungkin Pemkot Pontianak tengah menghemat listrik. Namun Bin Kohar bersyukur, sinar bulan yang tengah terang membantu menanjak jembatan berbukit itu.Â
Mobil pun dapat meluncur cepat. Tak banyak mobil melintas di tengah malam kala itu. Karenanya, Bin Kohar merasa nyaman.Â
Tiba-tiba, pada bagian puncak jembatan, Bin Kohar hampir menabrak tiang pembatas jembatan. Ia terkejut dengan sosok penampilan mahluk besar. Wujud kepalanya botak, berkumis, bertelanjang dada.Â
Saking besar dan tingginya, kepala si Botak itu nyaris menyundul atap besi baja jembatan. Bin Kohar meluncur terus dengan mobilnya, menembus sela-sela dua kaki si botak.Â
Kemudian, dengan reflek, Bin Kohar menghentikan mobilnya di pos polisi di ujung jembatan Kapuas. Dari belakang setir, Bin Kohar melihat pos polisi tengah kosong ketika itu.Â
Namun itu bukan berarti menimbulkan rasa takut. Bin Kohar turun dari kendaraannya, lalu pergi ke tepi sungai. Dari atas gertak (jembatan kecil terbuat dari kayu), ia berteriak.Â
Katanya: "Jangan ganggu orang lewat. Hadapi aku kalau ingin betumbuk (berkelahi, red)."Â
Bin Kohar pun naik kembali ke mobilnya. Meluncur pulang.Â
***
Di areal seperti lapangan sepakbola, Bin Kohar seperti kehabisan nafas. Ia terengah-engah seperti orang lari dikejar seekor anjing.Â
Meski begitu, dengan tekatnya yang kuat, ia terus menghadapi si Botak yang berasal dari jembatan Kapuas. Jurus ilmu dalam dan mantera yang dipelajari, semua dibacanya.Â
Kala Bin Kohar membaca tri-kol (tiga kol = An Nas, Falaq dan Al Ikhlas) plus ayat Kursi, namun si Botak menertawakannya. Ilmu Bin Kohar disebutnya sangat "cetek".Â
Tapi, Bin Kohar tak kehilangan akal. Ketika tangan si Botak yang besar itu hendak menangkap tubuhnya yang mungil, Bin Kohar berhasil menaburkan sekepal pasir ke arah muka si Botak. Botak mundur lantaran matanya kelilipan. Tak lama lari menghindar sambil berteriak.Â
"Bang... Bang Kohar bangun," teriak istrinya dengan suara cemas menyaksikan suaminya penuh keringat di atas tempat tidur.Â
Sejak itu, Bin Kohar tak lagi sesumbar kepada siapa pun. Di hadapan penulis ia berjanji tidak mau berbuat sombong. Ia membenarkan bahwa di atas langit masih ada langit.Â
Tak perlu bikin gaduh. Â Apa lagi mencari lawan atau musuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H