Â
Sejak Maret hingga awal September 2020, peristiwa perselingkuhan berkurang. Namun angka perceraian meningkat. Ramai kasus perceraian itu ikut menghias media massa.
Ah, apa betul begitu? Kataku kepada seorang ustaz dalam percakapan tadabur Alquran.
Meningkat. Pasti. Ini informasi taraf atas alias A. Peningkatan itu didasari ucapan seorang petugas pengadilan agama. Tapi, sayangnya, pak ustaz tak bisa menunjukkan angka perceraian yang terjadi sejak awal Maret hingga awal September 2020.
Andai saja pihak pengadilan membuka data itu, bisa jadi bisa sebagian anggota masyarakat di tanah air tercengang. Tapi, yang jelas, memang hubungan perceraian itu kadang beriringan dengan faktor yang tengah hangat di publik. Sebut saja, dampak pandemi Covid-19 demikian meluas.
Kalau dulu, ketika tengah hangatnya pemilihan presiden dan anggota legislatif, rumah tangga ada yang hancur lantaran suami dan isteri berbeda pilihan. Meski pasangan suami isteri "kuat" dari sisi ekonomi, namun "lemah" dari niat membangun kehidupan rumah tangga.
Nah, saat pandemi Covid-19, dampaknya secara umum tak langsung kepada faktor ekonomi anggota keluarga. Namun lebih kepada faktor penyebab utamanya yaitu perselingkuhan dari masing-masing pasangan.
Kenapa bisa gitu, ya? Tanyaku kepada sang ustaz.
Lalu, sang ustaz yang banyak menerima pengaduan dari berbagai kalangan di kediamannya itu bercerita.
**
Namun sebelum cerita dipaparkan, sang ustaz membahas ayat 222 dari Surat Al Baqarah, prihal haid yang dialami bagi setiap ibu rumah tangga. Haid adalah sesuau yang "kotor", karena itu jauhi. Namun ketika ia dalam keadaan "suci", maka campurilah karena ia merupakan "ladang" bagi suami.
Kalimat ini sejatinya ditujukan bagi orang "dewasa". Jangan paksakan membahas ini di hadapan anak yang masih jauh dari akil baligh (belum dewasa). Akil baligh tak melulu dapat ditentukan berdasarkan usia, kadang belum masuk 17 tahun sudah datang bulan.
Hehehe, maaf, penulis tak bermaksud menjelaskan tentang ini dengan panjang lebar.
Sungguh, sangat disayangkan, pemahaman cerai di sebagian anggota masyarakat kita masih tergolong rendah. Kita pun pernah mendengar seorang pejabat menceraikan isteri melalui pesan singkat atau SMS.
Bahkan perkawinan bubar sebelum malam pertama lantaran pihak wanita mengelabui pasangannya, padahal berjenis kelamin pria. Di sini terjadi penghulu tak cermat meneliti fisik calon pasangan pengantin dan hanya mengandalkan kelengkapan dokumen administrasi.
Sejatinya cerai itu tidak mudah. Kalaupun memiliki dasar atau argumentasi kuat, ada aturan yang harus diindahkan. Dalam perspektif Islam, ada sebutan yang populer bahwa cerai harus melewati masa 'iddah.
Iddah yaitu suatu periode (waktu 3 kali haid, biasanya 3 x 40 hari) yang harus dilalui seorang perempuan untuk cerai atau menikah lagi. Jika belum masuk waktu 3 kali haid, kemudian sang suami ingin kembali hidup bersama isteri seperti semula (rtjuk), hal itu sangat dibenarkan.
Namun jika pada masa itu tak ditempuh untuk rujuk atau pihak suami bersikukuh menceraikan isterinya, maka itu dapat dibenarkan. Di sini, sang isteri dibenarkan untuk nikah kembali.
Pembahasan ini memang bisa panjang lebar. Tak cukup satu semester kuliah. Karena itu, sungguh elok jika pasangan yang ingin menikah, tempuh dan ikuti pelatihan kursus pengantin yang diselenggarakan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
**
Lantas, bagaimana hubungan perselingkuhan?
Ini fenomena baru. Duduk persoalan perceraian secara langsung akibat dampak Covid-19 Â tidak terlalu banyak. Perceraian akibat ekonomi --- sebagai dampak pandemi Covid -19 -- tidak banyak. Sebab, kini mulai tumbuh bahwa pernikahan itu didasari ibadah.
Andai hidup kurang akibat krisis ekonomi, tetapi pondasi perkawinan masih kokoh.Pasalnya, yaitu kemauan membangun rumah tangga dilatari dengan perkawinan sebagai ibadah. Mereka yang meyakini ini masing-masing pasangan akan saling membahi agar roda kehidupan tetap stabil dijalani.
"Saya pastikan itu tak banyak," ujar sang ustaz penuh keyakinan.
Tapi justru akibat perselingkuhanlah sebagai penyebab pasangan suami isteri bercerai.
Begini. Jauh sebelum virus corona yang menjadi wabah, banyak kaum pria yang sudah beristeri punya pasangan isteri (sirri). Dulu, pria pembohong besar ini mengongkosi pasangannya dengan uang "sampingan". Kalau dia seorang ASN, ya mengandalkan dari pendapatan biaya perjalanan dinas.
Setelah Covid-15 berlangsung, wanita simpangan muncul ke permukaan dan minta biaya hidup. Atau, ya minta pertanggungjawaban.
Jika ia pegawai swasta, ya dana tambahan di luar gaji yang diterima dengan lancar. Kalau dulu para pria hidung belang dapat memberi uang tips kepada pegawai bar, sekarang terungkap ketika para pelayan itu minta dukungan dana untuk kehidupan rumah tangganya.
Kemajuan teknologi juga ikut mendorong isteri (resmi) mudah mengetahui perilaku suami-suami punya simpanan. Ini berawal ketika sang suami banyak di rumah, sang isteri memperhatikan kegelisahan yang terjadi pada diri psangan hidupnya itu. Gelisah bukan lantaran tak cukup uang, tapi para hidup belang itu merasa "dihantui" perbuatan buruknya sendiri.
Fenomena ini, yang dapati dari pengaduan isteri-isteri yang merasa dihianati.
Ujungnya, dari perceraian itu, adalah kerusakan sosial. Kaum perempuan yang harus dihormati jadi jatuh kedudukannya setelah memperoleh status janda. Terlebih diceraikan dengan cara menyakitkan lantaran kawin sirri.
Demikian juga anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Anak-anak terlantar dan tak dapat ongkos untuk biaya belajar. Karena itu, sungguh tepat jika dikatakan bahwa sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian" [H.R. Abu Daud dan Hakim].
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H