Kalimat ini sejatinya ditujukan bagi orang "dewasa". Jangan paksakan membahas ini di hadapan anak yang masih jauh dari akil baligh (belum dewasa). Akil baligh tak melulu dapat ditentukan berdasarkan usia, kadang belum masuk 17 tahun sudah datang bulan.
Hehehe, maaf, penulis tak bermaksud menjelaskan tentang ini dengan panjang lebar.
Sungguh, sangat disayangkan, pemahaman cerai di sebagian anggota masyarakat kita masih tergolong rendah. Kita pun pernah mendengar seorang pejabat menceraikan isteri melalui pesan singkat atau SMS.
Bahkan perkawinan bubar sebelum malam pertama lantaran pihak wanita mengelabui pasangannya, padahal berjenis kelamin pria. Di sini terjadi penghulu tak cermat meneliti fisik calon pasangan pengantin dan hanya mengandalkan kelengkapan dokumen administrasi.
Sejatinya cerai itu tidak mudah. Kalaupun memiliki dasar atau argumentasi kuat, ada aturan yang harus diindahkan. Dalam perspektif Islam, ada sebutan yang populer bahwa cerai harus melewati masa 'iddah.
Iddah yaitu suatu periode (waktu 3 kali haid, biasanya 3 x 40 hari) yang harus dilalui seorang perempuan untuk cerai atau menikah lagi. Jika belum masuk waktu 3 kali haid, kemudian sang suami ingin kembali hidup bersama isteri seperti semula (rtjuk), hal itu sangat dibenarkan.
Namun jika pada masa itu tak ditempuh untuk rujuk atau pihak suami bersikukuh menceraikan isterinya, maka itu dapat dibenarkan. Di sini, sang isteri dibenarkan untuk nikah kembali.
Pembahasan ini memang bisa panjang lebar. Tak cukup satu semester kuliah. Karena itu, sungguh elok jika pasangan yang ingin menikah, tempuh dan ikuti pelatihan kursus pengantin yang diselenggarakan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
**
Lantas, bagaimana hubungan perselingkuhan?
Ini fenomena baru. Duduk persoalan perceraian secara langsung akibat dampak Covid-19 Â tidak terlalu banyak. Perceraian akibat ekonomi --- sebagai dampak pandemi Covid -19 -- tidak banyak. Sebab, kini mulai tumbuh bahwa pernikahan itu didasari ibadah.