Di tengah pandemi Covid-19, pentas "gorengan" politik tak kenal henti. Kelompok "gaek" yang tak (sempat) mengecap dan menikmati kursi kekuasaan masih memiliki semangat "unjuk gigi".
Kemasannya pun terdengar elok, menyelamatkan negeri dengan sebutan gerakan moral di kala warga terhimpit kesulitan ekonomi sebagai dampak Covid-19.
Sepintas, ada keseruan di situ.
Sebab, lagi-lagi, lauknya itu melulu. Lagi-lagi lagunya itu melulu yang dimainkan. Lagi-lagi dia lagi pelakunya. Kata orang pinggiran Jakarta: "Lagunya memang sudah lama tak enak didengar, apa lagi lagu yang melekat padanya."
Semua itu tergambar ketika Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menggaungkan gerakan moral dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Anak negeri ada yang menyambut setengah hati penuh tanda tanya di tengah perang opini di media massa.
Penting disadari bahwa lama anak negeri ini menikmati pendidikan modern. Pada peringatan 75 tahun Indonesia merdeka, para pemuda, nampak di berbagai daerah memperlihatkan prestasi. Mereka cerdas.
Mereka itu rupanya belajar dari sejarah sehingga tahu persis mana yang hak dan batil. Itu tak lain disebabkan mereka paham timbangan yang dipakai. Kesan yang muncul kemudian ditangkapnya sebagai "politik gorengan" membosankan.
Atas nama demokrasi, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Azis Syamsuddin merespon tuntutan gerakan moral dari koalisi itu. Â Di negeri ini memang sudah lama dan sepatutnya setiap pendapat yang berkembang di tengah masyarakat dihormati.
Yah, biarlah semua itu berjalan. Kita pun tahu, air mengalir pasti ke daerah yang rendah. Siapa pun tahu. Ujungnya, bermuara pada kekuasaan.
**
Jangan lupa, dalam hitungan hari kita merayakan peringatan 10 Muharam atau Hari Raya Asyura. Orang Betawi menyebutkan Lebaran Anak Yatim. Disebut demikian, lantaran pada saat itu sebagian umat Islam sangat diharapkan ambil bagian untuk menyantuni anak yatim.