Bisa jadi, pada momentum itu, kelompok radikal digiring. Ujungnya, mereka membentuk laskar seperti yang terjadi di Solo, Jateng, belum lama ini.
**
Sebetulnya makna Hari Asyura itu sendiri adalah hari kesepuluh pada bulan Muharam pada kalender Hijriyah.
Lalu terjadi perbedaan sudut pandang tentang perayaan Hari Asyura itu. Hal ini sudah lama. Kelompok Syiah memberi makna sebagai hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680).
Sementara bagi kalangan Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil terbebas dari Fira'un.
Bagi kaum Sunni, yang banyak dianut di Indonesia, Nabi Muhammad berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari berpuasa. Karena itu, banyak warga ikut anjuran Nabi Saw.
Nah, lantaran perbedaan yang demikian kuat itulah, kita berharap hal tersebut dapat dijadikan sebagai "warning" bagi aparat.
Mengekpresikan kegembiraan keagamaan yang memiliki perbedaan sudut pandang dalam waktu bersamaan, sangat berpotensi terjadi benturan. Bahkan "digoreng" meski pandemi Covid-19 masih bertebaran.
Di negara demokrasi seperti Indonesia memang dibenarkan  mengeluarkan pendapat dan unjuk kebolehan seperti yang dilakukan koalisi "gaek", menyuarakan membela kaum lemah dan miskin. Namun, harus diingat, persatuan hendaknya lebih dikedepankan.
Â
Salam berbagi