Syair lagu itu di antaranya berbunyi hidup di bui bagaikan burung, bangun pagi makan nasi jagung. Tidur di ubin pikiran bingung, apa daya badanku terkurung.
Dewasa ini, jika mau jujur dengan diri sendiri dan melihat kehidupan ber-Pancasila dan relevansinya berbangsa, sepertinya kita belum mampu mengamalkan kelima sila dengan baik. Kenapa? Karena bingung dan terkurung seperti disebutkan Bartje tadi.
Pancasila ditempatkan dalam sangkarnya yang indah, terbuat dari emas.
Padahal, seperti disebut rekan penulis di atas, yang hingga usia 60-an masih tetap dipanggil Boy itu, pergulatan pendiri bangsa dalam mengupayakan panduan bagi perjalanan bangsa tampak diabaikan.
Dan insan Indonesia saat ini berusaha membuat sejarah sendiri tanpa mengetahui bahwa yang diwacanakan kini sudah terjadi pada masa lalu.
Warga Indonesia tampak terkena "kutukan" Santayana bahwa orang akan mengulangi sejarah karena mengabaikan Pancasila.
Kajian Pancasila Universitas Airlanggar pada 2011 dan kajian dari pakar lain mendapati keterbukaan bergaya liberalisme membuat perkembangan moral bangsa Indonesia dipakai “bancakan” oleh paham bersaing, yaitu liberalisme, sektarianisme dan primordialisme.
Sungguh terasa, Pancasila ditinggalkan, baik dalam kehidupan sehari-hari di lapisan bawah maupun di tingkat pembuat keputusan. Peringatan Pancasila Sakti terasa hanya pemenuhan kewajiban berkala.
Pancasila dipertahankan dan ditempatkan di sangkar emas, sementara untuk perjalanan hidup dipakai asas lain. Kemubaziran dan sikap mendua menjadi keniscayaan.
Apakah kita masih terus menerus mengimplementasikan Pancasila sebatas hafalan yang dilakukan seperti murid sekolah di atas? Atau ikut burung beo yang dipelihara penulis.
Memahami dan mengamalkan Pancasila sayogiaya menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.