“Alhamdulillah. Jimat-jimat itu masih dijumpai,” kata penulis ketika dalam perjalanan pulang di dalam mobil pribadi.
Lantaran dari mulut penulis meluncur kata jimat, isteri penulis mengingatkan bahwa percaya dengan jimat adalah perbuatan yang sangat dimurkai Allah.
Dan, soal yang ini, penulis tak mau berdebat. Suasana lebaran harus damai. Suasana harmonis harus dipelihara. Namun isteri tercinta nampaknya diliputi suasana ingin tahu mengapa penulis kadang dalam pembicaraannya menyelipkan kata jimat.
Jimat dimaknainya berupa benda yang digantungkan pada tubuh, kendaraan, atau bangunan dan dianggap memiliki kesaktian untuk dapat melindungi pemiliknya, menangkal penyakit dan tolak bala.
“Ah, cetek amat sih pemahamannya,” pikir penulis.
Kembali kepada video yang dikirim sahabat bernama Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS. Sehari-hari ia lebih suka dipanggil Triguna. Video yang dikirimnya pagi tadi, sungguh menghentakan hati penulis. Terlebih masih dalam suasana lebaran ini.
Mengapa?
Ya, karena jimat-jimat penulis pada saat lebaran ini tak bisa dijumpai seluruhnya. Terutama di luar kota, nun jauh disana. Jimat-jimat itulah yang selama ini memberi dukungan dalam kehidupan penulis yang pernah singgah di berbagai kota dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.
Jimat-jimat itu ikut “mewarnai” kehidupan penulis.
Bagi penulis, posisi orangtua, guru (agama), sahabat dan rekan seperjuangan adalah jimat yang harus dihormati. Hormatilah orangtua. Sebab, ia merupakan kekuatan potensi doa dan cita-cita.
Orang bijak sering melontarkan kata-kata bahwa Anda tidak ada apa-apanya jika tidak ada Allah. Anak yang berbakti kepada Allah adalah anak yang juga berusaha untuk membuat orangtua menjalani hidup bahagia.